Friday 16 December 2011

METODOLOGI STUDI ISLAM BAB 7 - 14

BAB I

MISI AJARAN ISLAM

Studi terhadap misi ajaran Islam secara komprehensif dan mendalam adalah sangat diperlukan karena beberapa sebab sebagai berikut :

Pertama, untuk menimbulkan kecintaan manusia terhadap ajaran Islam yang didasarkan kepada alasan yang sifatnya bulan hanya normatif , yakni karena diperintah oleh Allah, dan bukan pula karena emosional semata-mata karena didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional, kultural dan aktual. Yitu argumen yang masuk akal, dapat dihayati dan dirasakan oleh umat manusia.

Kedua, untuk membuktikan kepada umat manusia bahwa Islam baik secara normatif maupun secara kultural dan rasional adalah ajaran yang dapat membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, tanpa harus mengganggu keyakinan agama Islam.

Ketiga, untuk menghilangkan citra negatif dan sebagian Masyarakat terhadap ajaran Islam.

A. Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Argumentasi tersebut dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, untuk menunjukkan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari pengertian Islam itu sendiri. Kata Islam makna aslinya masuk dalam perdamaian, dan oran Muslim ialah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya dan damai dengan manusia bukah saja berarti menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada sesamanya, melainkan pula ia berbuat baik kepada sesamanya. Dua pengertian ini dinyatakan dalam Alqur’an sebagai inti agama Islam yang sebenar-benarnya. Al-Qur’an menyatakan sebagai berikut :

Islam adalah agama perdamaian dan dua ajaran pokoknya, yaitu Keesaan Allah, dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia, menjadi bukti yang nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan mananya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama sekalian Nabi Allah, sebagaimana tersebut di atas, melainkan juga sesuatu yang secara taksadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah, yang kita saksikan pada alam semesta.

Pertama, misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan Islam dalam menangani berbagai problematika agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Dari sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam senantiasa hadir memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas. Islam sebagaimana dikatakan H.A.R. Gibb bukan semata-mata ajaran tentang keyakinan saja, melainkan sebagia sebuah sistem kehidupan yang multi dimensial.

Dalam bidang sosial, keadaan masyarakat terbagi-bagi kedalam sosial atau kasta yang dibedakan berdasarkan suku bangsa, bahasa, warna kulit, harta benda, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Dengan sistem kelas yang demikian, maka tidak akan terjadi mobilitas vertikal yang didasarkan pada pretasinya masing-masing.

Selanjutnya dalam bidang ekonomi, ditandai oleh praktik mendapatkan uang dengan menghalalkan segala cara, seperti dengan praktik riba, mengurangi timbangan, menipu, monopoli, kapitalisme, dan sebagainya. Keadaan yang demikian itu pada gilirannya membawa mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Persaingan yang tidak sehat terjadi diantara mereka. Manusia telah menjadi budah dari harta benda.

Selanjutnya dalam bidang pendidikan, ditandai oleh keadaana di mana pendidikan atau ilmu pengetahuan hanya milik kaum elit. Rakyat dibiarkan bodoh sehingga dengan mudah dapat disesatkan akidahnya dan selanjutnya dengan mudah dapat diperbudak.

Dalam pada itu pada masa kedatangan Islam di bidang kebudayaan ditandai oleh keadaan masyarakat yang semata-mata mengikuti hawa nafsu syahwat dan nafsu duniawi. mereka gemar melakukan mabuk-mabukan, foya,foya, berzina, berjudi, dan sebagainya. Mereka tenggelam dalam dosa-dosa maksiat.

Dari sejak kelahirannya Islam sudah memiliki komitmen dan respon yang tinggi untuk ikut terlibat dalam memecahkan berbagai masalah tersebut di atas. Islam bukan hanya mengurusi sosial ibadah dan seluk beluk yang terkait dengannya saja, melainkan juga ikut terlibat memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah tersebut dengan penuh bijaksana, adil, domokratis, manusiawi, dan seterusnya. Hal-hal yang demikian itu dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, dalam bidang sosial, Islam memperkenalkan ajaranyang bersifat egaliter atau kesetaraan dan kesederajatan antara manusia dengan manusia lain. Satu dan lainnya sama-sama sebagai makhluk Allah SWT. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Kedua, misi Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dari ajaran dalam bidan ekonomi yang bersandikan asas keseimbangan dan pemerataan. Dalam ajaran Islam seseorang diperbolehkan memiliki kekayaan tanpa batas, namun dalam jumlah tertentu dalam hartanya terdapat milik orang lain yagn harus dikeluarkan dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah.

Ketiga, misi ajaran Islam rahmatan lil alamin dalam bidang politik terlihat dari perintah Alquran agar seorang pemerintah bersikap adil, bijaksana terhadap rakyat yang dipimpinnya, mendahulukan kepentingan – kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya, melindungi dan mengayomi rakyat, memberikan keamanan dan ketentraman kepada masyarakat.

Keempat, missi rahmatan lil alamin ajaran Islam dalam bidang hukum-hukum terlihat dari perintah Alquran surat An-Nisa’ ayat 58 sebagaimana tersebut di atas. Ayat tersebut memerintah seorang hakim agar berlaku adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara. Penegakan supremasi hukum sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.

Kelima, misi ajaran Islam rahmatan lil alamin dapat pula dilihat dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari ajaran Islam yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang pendidikan. Islam menganjurkan belajar sungguhpun dalam keadaan perang, dan menuntut ilmu mulai dari buaian hingga ke linag lahat, serta melakukannya sepanjang hayat. Pendidikan dalam Islam adalah untuk semua. pemerataan dalam pendidikan adalah merupakan misi ajaran Islam.

Berdasarkan fakta dan analisis sebagaimana di atas, kita dapat mengatakan bahwa misi ajaran Islam adalah untuk melindungi hak-hak asasi manusia baik jiwa, akal, agama, harta, keturunan dan lainnya yang terkait. Untuk itu maka Islam sangat nenkankan perlunya menegakkan keadaan duai yang aman, damai, sejahtera, tentram, saling tolong-menolong, toleransi, adil, bijaksana, terbuka, kederajatan, dan kemanusiaan. Dengan ajran yang demikian, maka Islam bukanlah agama yang harus ditakuti, apalagi dituduh sebagai sarang teroris, pembuat kekacauan dan sebagainya.

BAB 2

POSISI ISLAM DI ANTARA AGAMA-AGAMA DI DUNIA

Sebelum Islam datang ke dunia ini, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh umat mansuia. Para ahli Ilmu Perbandingan Agama (The Comparative Study Of Religion ) bida membagi agama secara garis besar ke dala dua bagian. Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-wahyunya sebagaimana termaksud dalam kitab suci Alquran. Kedua, kelopok agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab suci yang disusunnya.

Islam adalah agama yang terakhir di antara agama besar di dunia yang semuanya merupakan kekuatan raksasa yang mengeerakkan revolusi dunia, dan mengubah nasib sekalian bangsa. Selain itu, Islam bukan saja agama yang terakhir melainkan agama yang melengkapi segala-galanya dan mencakup sekalian agama yang datang sebelumnya.

Mengenai posisi Islam terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, dapat dari ciri khas agama islam yang paling menonjol yaitu bahwa Islam menyuruh para pemeluknya agar beriman dan mempercayai bahwa seklian agama besar di dunia yang datang sebelumnya diturunkan dan diwahyukan oleh Allah.

Didalam Alquran dijunpai ayat-ayat yang menyuruh umat Islam mengakui agama-agama yang diturunkan sebelumnya sebaigian dari rukun iman.

Berdasarkan ayat – ayat tersebut terlihat dengan jelas bahwa posisi Islam di antara agama-agama lainnya dari sudut keyakinan adalah agama yang menyakini dan mempercayai agama-agama yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Dengan demikian orang Islam bukah saja beriman keapda Nabi Muhammad SAW. melainkan beriman kepada semua nabi. menurut ajaran Alquran yang terang benderang, bahwa semua bangsa telah kedatangan Nabi. tidak ada satu umat, melainkan seorang juru ingat telah berlalu di kalangan mereka (QS. Faathir, 35:24). Dengan demikian orang Islam adalah orang yang beriman kepada para nabi dan Kitab Suci dari semua bangsa.

Kedua, posisi Islam di antara agama-agama besar di dunia dapat pula dilihat dari ciri khas agama Islam yang memberinya kedudukan istimewa diantara sekalian agama. Selain menjadi agama yang terakhir dan yang meliput semuanya, Islam adalah pernyataaan kehendak Ilahiyang sempurna.

Ketiga, posisi Islam diantara agama-agama lainya dapat dilihat dari peran yang dimainkannya. Dalam hubungan ini agama Islam memiliki tugas besar, yaitu (1), mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan diantara sekalian agama di dunia dan (2), menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama yang telah ada sebelumnya (3), memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para penganur agama sebelumnya yang kemudian dimasukkan ke dalam agamanya itu, (4), mengerjakan kebenaran abadi yang sebelumnya tak pernah diajarkan, berhubung keadaan bangsa atau umat pada waktu itu masih dalam tarap permulaan dari tingkat perkembangan mereka dan yang terakhir ialah memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusia yang selalu bergerak maju.

Keempat, posisi Islam di antara agama-agama lain dapat pula dilihat dari adanya unsur pembaruan didalamnya.

Kelima, Posisi agama Islam terhadap agama-agama lainnya dapat dilihat dari dua sifat yang yang dimiliki oleh ajaran Islam, yaitu akomodatif dan persuasif.

BAB 3

METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM

A. STUDI ISLAM

Dikalangan para ahli masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilme pengetahuan dan agama berbeda.

Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi kagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, medodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

dengan demikian secara sederhana dapat dekemukakan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat di dalam Alquran dan hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analisistis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak romantis, apologis, dan subjektif. sedangkan jika dilihat dari segi historisnya yakni islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atai Islam Studies

Perbedaan dalam melihat Islam yag demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika islam dilihat dari sudur normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan dengan urusan akidah dan muamalah sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

B. METODE MEMAHAMI ISLAM

Pada bagian ini penulis akan mencoba menelusuri metode memahami Islam sepanjang yang dapat dijumpai dari berbagai literatur keislaman. Dalam buku herjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syari'ati, dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat ha-nya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alquran sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi; sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Alquran. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Alquran yang menjadi bahan pemikiran hagi para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi alquran lainnya lagi yang belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiofogis, dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal, karena sosiologi, psikologi ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah yang merupakan ilmu termuda di dunia. Namun yang dimaksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tertua yang pernah ada.

Untuk memahami islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengajukan empat cara. :

Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alquran dan Al-Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya megenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Alquran dan Al-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber – sumber kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan men­jadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khurafat, yakni telah tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, dari ajaran Islam yang murni.

Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara. sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.

Ketiga, Islam perlu dipelajar dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar.

Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Alquran, baru kemudia dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam Alquran dengan Islam yang ada pada dataran historis, sosiologis, dan empiris

Memahami Islam dengan cara keempat sebagaimana disebutkan di atas, akhir-akhir ini sangat diperlukan dalam upaya menjunjukkan peran sosial dan kemanusiaan dari ajaran Islam itu sendiri.

Dari uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang dapat digunakan. untuk memahami Islam secara garis besar ada dua macam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengar. cara demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan utuh Kedua, metode sintesis, vaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakar. untuk memahami Islam yang tampak dalam kenyataan historis, empiris, dar sosiologis, sedangkan metode teologis normatif digunakan untuk memaham: Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama berasal dari Tuhan dari apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada Islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong Muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.


BAB 4

TELAAH “ KONSTRUKSI TEORI” PENELITIAN AGAMA

A. PENGERTIAN "KONSTRUKSI TEORI" PENELITIAN AGAMA

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta Mengartikan konstruksi adalah cara membuat (menyusun) bangunan – bangunan (jembatan dan sebagainya); dan dapat pula berarti susunan dan hubungan kata di kalimat atau di kelompok kata. Sedangkan teori berarti pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian); dan berarti pula asas-asas dan hukum-hukum umum yang dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Selain itu, teori dapat pula berarti pendapat, cara-cara, dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.

Selanjutnya, dalam ilmu penelitian teori-teori itu pada hakikatnya merupakan pernyataan mengenai sebab akibat atau mengenai adanya suatu hubungan positif antara gejala yang diteliti dari satu atau beberapa faktor tertentu dalam masyarakat, misalnya kita ingin meneliti gejala bunuh diri. sudah mengetahui tentang teori integrasi atau kohesi sosial dari Emile Durkheim (seorang ahli sosiologi Perancis kenamaan), yang mengatakan adanya hubungan positif antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dan gejala bunuh diri dari pengertian – pengertian tersebut, kita dapat memperroleh suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Ksnstruksi teori adalah susunan atau bangunan dari suatu pendapat, asas-asas atau hukum – hukum mengenai sesuatu yang antara suatu dan lainnya saling berkaitan, sehuingga membentuk suatu banunan.

Adapun penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, pemeriksaan yang dilakukan secara saksama dan teliti, dan dapat pula berarti penyelidikan, tujuan pokok dari kegiatan penelitian ini adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kebenaran – kebenaran objektif yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaruan, perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoritis dan praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.

Dengan demikian, penelitian mengandung arti upaya menemukan jawaban atas sejumlah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul.

Barikutnya, sampailah kita kepada pengertian agama. Telah banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan seperti antropologi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain yang mengcoba mendefinikan agama. R.R. Maret salah seorang ahli antropologi Inggris, menyatakan bahwa agama adalah yang paling sulit dari semua perkataan untuk didefinisikan karena agama adalah menyangkut lebih daripada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dari menurut segi-segi emosionalnya walaupun idenya kabur.Harun Nasution menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu :1) unsur kekuatan gaib yang dapat mengambil bentuk Dewa, Tuhan, dan sebagainya; 2) unsur keyakinan manusia bahwa kesejahterahannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat nanti amat tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud; 3) unsur respond yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta, dan sebagainya; dan 4) unsur pahan adanya yang kudus (sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib.

Dari definisi-definisi tersebut, Harun Nasution selannjutnya menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu: 1) Unsur kekuatan gaib yang dapat rnengambil bentuk dewa, atau Tuhan, dan sebagainya: 2) Unsur keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat nanti amat bergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud : 3) Unsur respons yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta dan sebagainya dan 4) Unsur paham adanya yang kudus (Sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.


BAB 5

TEORI-TEORI PENELITIAN AGAMA

Teori adalah alat terpenting suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori berarti hanya ada serangkian fakta atau data saja dan tidak ada ilmu pengetahuan. Teori itu (1) menyimpulkan generalisasi fakta-fakta, (2) memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi fakta-fakta, (3) memberikan kerangka baru, (4) mengisi kekosingan pengetahuan tentang gejala – gejala yang telah ada atau sedang terjadi.

Ilmu-ilmu agama pada segi-seginya yang menyangkut masalah sosial, termasuk bagian yang dapat diteliti, dimatai dengan menggunakan piranti ilmiah atau metodologi ilmiah yang didalamnya mengandung teori yang akan digunakan. Metodologi ilmiah ditentukan oleh objek yang dikaji. Kalau segi-segi tertentu agama, katakanlah Islam itu berada pafa fenomena sosial, niscaya metode pengakajian terhadap fenomena itu adalah ilmu-ilmu sosial. Adapun terhadap segi-segi lain yang berpangkal pada postulat – postulat yang lebih bersifat normatif dan dogmatis, sesuai dengan ajaran metode ilmiah yang harus mempertahankan objektivitas berdasarkan konsep-konsep pemikiran logis dan bukti-bukti empiris. Tentu saja kebenaran agama dalam norma dan dogma mendambakan kebenaran mutlak sedangkan kebenaran ilmiah hanyalah kebenaran nisbi, berdasarkan pada logika dan ketetapan ilmu pengetahuan, Karena itu hakikat pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmu pengetahuan tidak mutlak sifatnya.

Penggunan teori dalam kajian studi islam telah banyak dibahas para ahli Ricard C. Martin dalam bukunya berjudul Approaches to Islam in religious studies, telah membahas penggunaan teori dalam melakukan penelitian terhadap bidang studi agama Islam. Demikian pula buku yang berjudul Penelitian Agama. Masalah dan pemikiran yang diedit oleh Mulyanto Sumradi telah pula mengkaji secara seksama tentang penggunaan teori dalam penelitian agama.

Jelasnya untuk mengenal Islam, kita tidak memilih satu pendekatan saja, karena Islam bukanlah berdimensi satu. Islam bukanlah agama yang didasarkan semata-mata pada perasaan-perasaan mistik manusia atau hanya terbatas kepada hubungan antara Tuhan dan manusia. Ini hanya dimensi dari akidah Islam. Untuk mengenal dimensi tertentu ini kita harus beralih kepada metode filsafat, karena hubungan antara manusia dan Tuhan merupakan bagian dari bidan pemikiran (filsafat).

BAB 6

MODEL PENELITIAN FISLASAT ISLAM

Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mereka yang berpi­kiran maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni berpegangan kepada doktrin ajaran Alquran dan Al-Hadis secara tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat, bahkan menolaknya. Dari kedua kelompok : tersebut nampak bahwa kelompok terakhir masih cukup kuat pengaruhnya di masyarakat dibandingkan dengan kelompok pertama. Kajian filsafat Islam; dilakukan sebagian mahasiswa pada jurusan tertentu di akhir abad ke 20. Sedangkan pada masyarakat secara umum seperti yang terjadi di kalangan pesantren, pemikiran filsafat masih dianggap terlarang, karena dapat melemahkan iman. Kalaupun di pesantren diajarkan logika, yang pada hakekatnya merupakan ilmu yang mengajarkan cara berpikir filosofis, namun ini tidak diterapkan, melainkan hanya semata-mata sebagai hafalan. Berbagai analisis tentang penyebab kurang diterimanya filsafat di kalangan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya adalah karena pengaruh pikiran Al-Ghozali yang dianggapnya sebagai pembunuh pemikiran filsafat. Anggapan ini selanjutnya telah pula dibantah oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa penyebabnya bulanlah Al-Ghozali, melainkan sebab-sebab lain yang belum jelas.

Dengan demikian, metede, penelitian yang ditempuh Ahmad Fual Al-Ahwani adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran, yaitu pendekatan historis, pendekatan kawasan dan tokoh. Mulai pendekatan historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbunya pemikiran filsafah daalam Islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh filosif menurut tempat tinggal meraka dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat yang sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.


BAB 7

MODEL PENELITIAN SEJARAH ISLAM

Sejarah Islma meruapakan salah satu bidang studi Islam yang banyak menarik perhatian para penelitia baik dari kalangan sarjana muslim maupun non muslim, karen abanyak manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tersebut. Bagi umat Islam, mempelajari sejarah Islam selain akan memberikan kebanggaan juga sekaligus peringatas agar berhati-hati. Dengan mengetahui bahwa umat islam dalam sejarah pernah mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun misalnya, akan memberikan rasa bangga dan percaya diri menjadi orang muslim. Demikian pula dengan mengetahui bahwa umat Islam juga mengalami kemunduran, penjajahan dan keterbelakangan, akan menyadarkan umat Islam untuk memperbaiki keadaan dirinya dan tampil untuk berjuang mencapai kemajuan.

Sementara itu, bagi para peneliti Barat, mempelajari sejarah Islam selain diajukan untuk pengembangan ilmu, juga terkadang dimaksudkan untuk mencari-cari kelemahan dan kekurangan umat Islam agar dapat dijajah dan sebagainya sebagainya. Disadari atau tidak, selama ini informasi mengenai sejarah Islam banyak berasal dari hasil penelitian para sarjana Barat. Hal ini terjadi, karena selain masyarakat Barat memiliki etos kemauan yang tinggi juga didukung oleh dana dan kemauan politik yang kuat dari para pemimpinnya. Sementara .dari kalangan para peneliti Muslim tampak di samping etos keilmuannya rendah, juga belum didukung oleh keahlian di bidang penelitian yang memadai serta dana dan dukungan politik dari pemeintah yang kondusif.

Hasil penelitian tersebut nampaknya berguna sebagai informasi awal untuk melakukan penelitian sejarah yang mengambil pendekadan kawasan. Penelitian tersebut dapat dikategorikan sebagai penelitian literatur yang didukung oleh survei, dan dianalisis dengan pendekatan sejarah dan perbandingan

METODOLOGI STUDI ISLAM

METODOLOGI STUDI ISLAM

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Damrah Khair, M.A

Frengki, SEI, M.SI



Di Susun Oleh :

JUMADI (1121040179)

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN

LAMPUNG

2011/2012

BAB I

PENDAHULUAN

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.

Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.

Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.

BAB II

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

A. Pengertian Agama

Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya, berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan defenisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.

Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahmi serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu juga berbeda-beda..

Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain.

Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenan pula kata din (Ïﻴﻦ ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.

Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan

Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.

Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikat atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat universal sekaligus partikular.

Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut :

1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi;

2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;

3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;

4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;

5). Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari kekuatan gaib;

6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib;

7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;

8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan Allah).

Selanjutnya, Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi karakteristik agama sebagai berikut :

a). Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.

b). Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang dimaksud.

c). Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia

d). Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama, aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.

B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama

Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Latar Belakang Fitrah Manusia

Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.

ﻓﺄﻗﻢæﺟﻬﻚﻟﻠﺪﻳﻦﺣﻨﻴﻔﺎﻓﻄﺮﺓﺍﷲﻓﻄﺮﺍﻟﻨﺎﺱﻋﻠﻴﻬﺎ (ﺍﻟﺮﻭã٣٠)

Artinya: Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).

Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Bukti manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.

Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Sebagai akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Lucterius, seorang filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada Muthahhari mengatakan bahwa nenek moyang pertama para dewa adalah dewa ketakutan. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia, sebab dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Beberapa hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli karena dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan. Hipotesis tersebut sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama, namun potensi tersebut jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti akal manusia tidak ada manfaatnya, melainkan menunjukkan bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah cukup.

Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya William James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan, ”Kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari alam di balik alam material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang pemenang hadiah Nobel berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan bahwa pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan penyimpangan.

Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858 – 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada zat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat lahut manusia mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam sifat nasutnya maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia

Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Kita misalnya ayat yang berbunyi :

ﻭﻧﻔﺲﻭﻣﺎﺳﻮﻫﺎ٧ﻓﺎﻟﻬﻤﻬﺎﻓﺠﻮﺭﻫﺎﻭﺗﻘﻮﻫﺎ(ﺍﻟﺜﻤﺲ)

Artinya : Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).

Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.

Kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.

3. Tantangan Manusia

Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.

BAB III

BERBAGAI

PENDEKATANDALAM MEMAHAMI AGAMA

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.

Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.

Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.

Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.

Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

A. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, mesianis dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai ”keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan.

Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan lainnya sebagai salah.

Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.

Berkenaan dengan hal di atas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan istilah teolgi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiranm atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub : teks dan situasi; masa lampau dan masa kini.

B. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

C. Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.

Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.

Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :

1). Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).

2). Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

3). Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.

4). Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

5). Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

D. Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.

Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.

E. Pendekatan Historis

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.

F. Pendekatan Kebudayaan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kacakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya.

G. Pendekatan Psikologi

Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.

Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

BAB IV

HUBUNGAN AGAMA

DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan positifnya. Di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi, dehumanisasi, sekuralisasi dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara lain terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi (ekonosfer), informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer) maupun psikolgi (psikosfer).

A. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial

Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan antara urusan ibadah dengan urusan muamalah.

Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk mememiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial profetik.

B. Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam

Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu; perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan ketiga, transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110 surat Ali Imron sebagai berikut :

(ﺍﻝﻋﻤﺮﺍﻥ١١٠) ﻛﻨﺘﻢﺧﻴﺮﺍﻣﺔﺃﺧﺮﺟﺖﻟﻠﻨﺎﺱﺗﺄﻣﺮﻭﻥﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑﻭﺗﻨﻬﻮﻥﻋﻦﺍﻟﻤﻨﻜﺮ

Artinya : Kamu sekalian adalah sebaik-baiknya umat yang ditugaskan kepada manusia menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan beriman kepada Allah. (QS. Al-Imron, 110).

Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

Pertama, bahwa tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi.

Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri.

Selanjutnya, tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan.

Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi, orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.

C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi

Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana tersebut di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains Barat dan arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam perlu membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.

Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal demikian dapat dipahami dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah Ku-sempurnakan agama-Ku mengandung arti bukan membuat yang baru atau membangun dari ruang yang hampa melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada.

Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, peradaban Persia, India dan cina di Timur. Ketika abad VIII – XV peradaban Barat dan Timur tenggelam dan menjalani kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil-alih oleh Barat sekarang melalui renaissans.

Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam setting sosial aktual.

Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari segi sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka, akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang membawa korban yang tidak diharapkan.

Dengan mengikuti uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Karena itu, kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat diakui oleh Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam dan diarahkan untuk humanisasi, liberasi dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian yang dibutuhkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi di abad XXI mendatang.

BAB V

PENGERTIAN

DAN SUMBER AJARAN ISLAM

Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya.

A. Pengertian Agama Islam

Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.

Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.

Dari pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.

B. Sumber Ajaran Islam

Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah .

1. Alquran

Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.

Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.

2. Al-Sunnah

Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.

Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.

Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.

Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :

1). Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;

2). Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;

3). Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula

4). Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.

BAB VI

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada Munthahhari.

Pemikiran para ilmuan Muslim dengan mempergunakan berbagai pendekatan tersebut di atas kiranya dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak mencoba memperdebatkannya antara satu dan lainnya, melainkan lebih mencari sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan umat umumnya dan untuk keperluan studi Islam pada khususnya.

A. Dalam Bidang Agama

Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak berbicara karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis Madjid adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.

Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.

B. Dalam Bidang Ibadah

Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.

Visi Islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya.

C. Bidang Akidah

Dalam Kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.

Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya.

D. Bidang Ilmu dan Kebudayaan

Karakteristik Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Islam adalah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban duni. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, Indi dan Cina di Timur.

Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut menurut A.Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara induktif.

E. Bidang Pendidikan

Islam memaandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).

F. Bidang Sosial

Ajaran Islam dalam bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia.

Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.

G. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi

Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Mubarak yang artinya : Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.

H. Dalam Bidang Kesehatan

Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih diutamakan daripada penyembuhan. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad Saw. yang pada dasarnya mengerah pada upaya pencegahan diantaranya. Surat Al-Baqarah , 2:222) yang artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan senang kepada orang-orang yang membersihkan diri. Selain itu Surat Al-Mudatsir 74:4-5) yang artinya : Dan bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala macam kekotoran.

I. Dalam Bidang Politik

Dalam Alquran Surat An-Nisa’ ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pemimpin tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi.

J. Dalam Bidang Pekerjaan

Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian terhadap Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.

Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang dilakukan adalah kerja profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan, keahlian, pengalaman, kesungguhan dan sebagainya.

K. Islam Sebagai Disiplin Ilmu

Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut peratutan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan Islam.

Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya.