Wednesday, 2 May 2012

MENGENAL KONSEP MUDHARABAH


MENGENAL KONSEP MUDHARABAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Islam
Dosen Pembimbing :
-    Prof. Dr. Suharto, MA
-    Mardiyah Hayati, M.Si

Disusun Oleh :
Jumadi             1121040179






 

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A 2011/2012

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT,  karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "Mengenal Konsep Mudharabah" tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.


Penulis





 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................  i
DAFTAR ISI ................................................................................................  ii
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................  1
Latar Belakang ...................................................................................  1
BAB II. PEMBAHASAN ...........................................................................  2
Pengertian Mudharabah .....................................................................  2
Dasar Hukum Mudharabah ................................................................  2
Jenis-Jenis Mudharabah ......................................................................  4
Syarat-Syarat Mudharabah .................................................................  4
Ketentuan-Ketentuan Dalam Mudharabah ........................................  6
Rukun Mudharabah ............................................................................  7
Hikmah Disyariatkannya Mudharabah ...............................................  13
Berakhirnya Usaha Mudharabah ........................................................  13
BAB III. PENUTUP ....................................................................................  15
Kesimpulan .........................................................................................  15
DAFTAR PUSTAKA
 

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal

Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001). Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.

Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbankan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam bisnis Islam dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.




A.     
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Mudharabah
Mudharabah dapat di definisikan sebagai sebuah perjanjian antara dua belah pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahibul mal) mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas usaha.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Mudharabah didefinisikan sebagai akad persekutuan dalam keuntungan dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lain.

Dalam mudharabah pihak pemodal tidak diberikan peran dalam manajemen perusahaan. Konsekuensinya mudharabah  merupakan perjanjian PLS dimana yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai[1].

B.   Dasar Hukum Mudharabah
Secara umum dasar hukum al mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits sebagai berikut :
a.    Alqur’an
Artinya : dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT... (Al-Muzzamil : 20)

   Yang menjadi argument dari al muzzamil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
  
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah  (al-Jumuah: 10)

Artinya :  Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.  (Al-Baqarah: 198)

b.   Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).

Dari shalih bin shuhaib ra. Bahwa rasulullah saw bersabda, “ tiga hal yang didalamnya terdapat tiga keberkatan : jual beli secara tangguh, muqharadah (mudharabah), dan mencampur gandum untuk keperlan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)[2]

c.    Ijma
Diantara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.[3]


d.   Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat mengelola hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang yang mau bekerja tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.[4]

C.  Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu, mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayadah.
a.       Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

b.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.[5]

D.  Syarat-syarat Mudharabah
1.      Syarat Aqidani
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, namun dalam hal ini mudharabah diperbolehkan bagi orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi dinegara Islam.
Adapun ulama malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba.

2.      Syarat Modal
a.       Modal harus berupa uang atau sejenisnya yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-Syirkah).
b.      Modal arus jelas dan memiliki ukuran
c.       Modal tidak berupa hutang
d.      Modal harus diberikan kepada pengusaha.

3.      Syarat-Syarat Laba
a.       Laba harus memiliki ukuran
b.      Laba harus berupa bagian yang umum[6]

Selain syarat-syarat diatas ada pula syarat yang lainnya yaitu syarat fasid dan syarat sahih
1.      Syarat fasid (tidak benar)
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan “berburulah dengan jarring saya dan hasil buruannya dibagi diantara kita” ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabillah berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang sahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapat buruan atau tidak.

Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akad fasid. Dan tentu saja kerugian yang adapun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama hanafiyah.
Beberapa hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan modal kepada pengusaha antara lain :
a.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, member, atau mengambil barang.
b.      Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja kecuali atas seizinnya.
c.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.

2.      Syarat Sahih
Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.[7]

E.   Ketentuan-Ketentuan Dalam Mudharabah
1.      Modal mudharabah harus berupa mata uang penuh yang ditentukan sewaktu akad dan diserahkan kepada pihak pengusaha setelah selesai ijab sesuai dengan yang telah disepakati.
2.      Pembagian keuntungan tidak sah jika hanya dilakukan sebelah pihak.
3.      Dasar dari pembiayaan mudharabah adalah modal berasal dari pihak pemodal sedang kerja dilakukan oleh pihak pengusaha.
4.      Jika dalam usaha megalami kerugian maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.sedangkan pihak pengusaha menanggung kerugian berupa tidak mendapatkannya hasil jerih payah selama usaha itu berjalan.
5.      Mudharabah dapat dibubarkan oleh pemilik modal pada waktu kapanpun sebelum usaha tersebut dimulai.
6.      Usaha yang dijalankan harus halal.
7.      Mudharabah harus dilakukan oleh dua pihak dan disahkan oleh hokum yang berlaku.
8.      Dilarang mencampur adukan harta mudharabah dengan harta pribadi atau harta lainnya.
9.      Perjanjian mudharabah selesai dengan jangka waktu yang telah disepakati atau meninggalnya salah satu pihak.
10.  Jika terjadi pembatalan maka modal dan untung harus dikembalikan kepada pemodal, dan pengusaha berhak menuntut upah atas usaha yang sudah dijalankan.
11.  Jika terjadi suatu kerusakan maka kerusakan tersebut dapat diganti dari keuntungan yang sudah ada[8].

F.   Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni dengan menggunakan lafadz mudharabah, muqaridah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga yaitu:
1.      Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)
2.      Modal (ma’qudalaih)
3.      Sighat (ijab dan qabul)
Sedangkan ulama salafiyah lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, sighat, dan dua orang yang akad.[9]

Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.

1.   Adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

2.   Objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a.    Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1.      Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
2.      Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3.      Modal yang diserahkan harus tertentu.
4.      Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.

Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b.   Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1.      Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2.      Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.

Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

c.    Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.




d.   Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1.      Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2.      Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
3.      Keuntungan harus diketahui secara jelas.
  1. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentukan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.

Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
  1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.”
Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.

  1. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah). Beliaupun merajihkan pendapat ini.

  1. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.


  1. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama.

Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
  1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
  2. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
  3. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir. Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam yaitu :
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

Kedua: Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

e.    Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[10]

G.  Hikmah Disyariatkan Mudharabah
Islam mensyariatkan kerjasama mudharabah untuk memudahkan orang pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelola hartanya, dan disana ada orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya.

Maka syariat memperbolehkan kerjasama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shahibul Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudharib (pengelola), dimana dia memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerjasama harta dan amal. Karena Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk kemaslahatan serta menolak kerusakan[11].

H.  Berakhirnya Usaha Mudharabah
Berakhirnya suatu usaha mudharabah dapat terjadi apa bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1.      Debitur telah membayar lunas atas modal yang diterimanya.
2.      Pembatalan perjanjian mudharabah yang dilakukan oleh pihak debitur.
3.      Musnahnya objek pembiayaan.
4.      Terjadinya kerugian total yang dialami oleh kreditur sehingga menyebabkan tidak sanggupnya mengembalikan modal dari debitur.
5.      Kreditur mengakhiri pembiayaan apabila usahanya mengalami kerugian terus menerus.[12]
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kontrak mudharabah ini, jika dikaitkan dengan teori keuangan, merupakan kontrak keuangan yang sangat berhubungan dengan masalah agency. Agent (mudharib) dalam kontrak mudharabah sangat mungkin melakukan penyimpangan-penyimpangn keuangan hasil proyek yang dijalankan karena control pemilik modal tidak optimal. Penyimpangan-penyimpangn itu berkaitan dengan aspek :
a.       Standar moral
b.      Ketidakefektifan modal pembiayaan bagi hasil
c.       Berkaitan dengan pengusaha
d.      Biaya, teknis
e.       Kurang menariknya system bagi hasil dalam aktivitas bisnis
f.       Permasalahan efisiensi (saeed 2003: 128-132).

Hal ini merupakan permasalahan mendasar dalam kontrak mudharabah. Pada sisi lain kontrak mudharabah merupakan salah satu bentuk pembiayaan tanpa bunga dan tentunya mudharabah sangat berbeda dengan bank yang menggunakan system bunga.

Didalam kontrak mudharabah akan melakukan Aspek-aspek atau Rukun mudharabah atas dasar kesepakatan bersama yaitu  :
a.       Pemilik modal
b.      Pelaku usaha/mudharib/agent
c.       Proyek yang akan dijalankan
d.      Nisbah pembagian keuntungan dan porsi pembagian kerugian jika hal itu terjadi
e.       Masa kontrak atau perjanjian serta syarat-syarat lain yang mendukung berjalannya kontrak mudharabah.

Jika aspek-aspek atau rukun tersebut dipenuhi, maka dimungkinkan dapat memperkecil terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha serta dapat mengoptimalkan kontrak mudharabah tersebut.[13]






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sarwat. Seri Fiqih Kehidupan. Jakarta Selatan: DU Publishing

Antonio, M.S. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.

Lewis, M.K, Lativa M.A. 2001. Perbankan Syari’ah Prinsip Praktek Prospek. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta.

Muhammad. 2008. Manajemen Pembiayaan Mudharabah Di Bank Syari’ah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syafe’i, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, Stain, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Sumitro. 2004. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.





[1] Mervin K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Prinsip Praktek dan Prospek (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001) hal. 66.
[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah,dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001) hal. 95
[3] Ibid. hal.96
[4] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hal. 226
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit, hal. 97
[6] Rachmat Syafe’I, Op. cit, hal.228
[7] Ibid, hal. 229-230
[8] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 101
[9] Rachmat Syafe’I, Op. Cit, hal. 226
[10] Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (Jakarta Selatan: DU Publishing) hal. 159-160
[11] Ibid, hal. 156
[12] Warkum Sumitro, Op. Cit. hal. 100
[13] Muhammad, manajemen pembiayaan mudharabah di bank syari’ah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008) hal. 5-6

0 comments:

Post a Comment