MENGENAL KONSEP MUDHARABAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Islam
Dosen Pembimbing :
-
Prof. Dr. Suharto, MA
-
Mardiyah Hayati, M.Si
Disusun Oleh :
Jumadi 1121040179
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A 2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji
dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah
SWT, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
yang berjudul "Mengenal Konsep Mudharabah"
tepat pada waktunya. Penulis
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan
rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN ........................................................................... 2
Pengertian Mudharabah ..................................................................... 2
Dasar Hukum Mudharabah ................................................................ 2
Jenis-Jenis Mudharabah ...................................................................... 4
Syarat-Syarat Mudharabah ................................................................. 4
Ketentuan-Ketentuan Dalam Mudharabah ........................................ 6
Rukun Mudharabah ............................................................................ 7
Hikmah Disyariatkannya Mudharabah ............................................... 13
Berakhirnya Usaha Mudharabah ........................................................ 13
BAB III. PENUTUP .................................................................................... 15
Kesimpulan ......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam
sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan
kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan
suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan,
namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu
usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai
resiko untuk gagal
Konsep
Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang
sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek
keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio,
2001). Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap
sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha,
sehingga melanggar aspek keadilan.
Bahwa
kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbankan Islam
membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah,
atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Apakah
konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih
dapat diaplikasikan secara murni dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak
mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam bisnis Islam dan dapat
digunakan dalam Perbankan Islam.
A.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mudharabah
Mudharabah
dapat di definisikan sebagai sebuah perjanjian antara dua belah pihak dimana
satu pihak, pemilik modal (shahibul mal)
mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas usaha.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Mudharabah didefinisikan sebagai akad
persekutuan dalam keuntungan dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak
lain.
Dalam
mudharabah pihak pemodal tidak diberikan peran dalam manajemen perusahaan.
Konsekuensinya mudharabah merupakan perjanjian PLS dimana yang diperoleh
para pemberi pinjaman adalah suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian
proyek yang telah mereka biayai[1].
B.
Dasar
Hukum Mudharabah
Secara
umum dasar hukum al mudharabah lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan
hadits sebagai berikut :
a. Alqur’an
Artinya : dan dari orang-orang yang
berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...” (Al-Muzzamil :
20)
Yang menjadi argument dari al muzzamil: 20 adalah adanya
kata yadhribun yang sama dengan akar
kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah (al-Jumuah: 10)
Artinya : Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu. (Al-Baqarah: 198)
b. Al-Hadits
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana
kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak
dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak.
Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas
dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan
Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).
Dari shalih bin shuhaib ra. Bahwa rasulullah saw
bersabda, “ tiga hal yang didalamnya terdapat tiga keberkatan : jual beli
secara tangguh, muqharadah (mudharabah), dan mencampur gandum untuk keperlan
rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)[2]
c.
Ijma
Diantara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan
tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.[3]
d.
Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-Musyaqah
(menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang
miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat
mengelola hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang yang mau bekerja tetapi
tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan umat manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan mereka.[4]
C. Jenis-jenis
Mudharabah
Secara
umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu, mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayadah.
a.
Mudharabah
Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul
maal dan mudharib yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah
bisnis.
b.
Mudharabah
Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudarib
dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya batasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.[5]
D. Syarat-syarat
Mudharabah
1.
Syarat Aqidani
Disyaratkan
bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah
ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, namun dalam hal ini mudharabah diperbolehkan bagi orang kafir dzimmi atau orang kafir yang
dilindungi dinegara Islam.
Adapun
ulama malikiyah memakruhkan mudharabah
dengan kafir dzimmi jika mereka tidak
melakukan riba.
2.
Syarat Modal
a.
Modal harus
berupa uang atau sejenisnya yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-Syirkah).
b.
Modal arus jelas
dan memiliki ukuran
c.
Modal tidak
berupa hutang
d.
Modal harus
diberikan kepada pengusaha.
3.
Syarat-Syarat
Laba
a.
Laba harus
memiliki ukuran
b.
Laba harus
berupa bagian yang umum[6]
Selain
syarat-syarat diatas ada pula syarat yang lainnya yaitu syarat fasid dan syarat sahih
1.
Syarat fasid (tidak benar)
Salah satu
contoh mudharabah fasid adalah
mengatakan “berburulah dengan jarring
saya dan hasil buruannya dibagi diantara kita” ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabillah
berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang sahih karena pengusaha
(pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapat buruan
atau tidak.
Hasil yang
diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal),
sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akad fasid. Dan tentu saja kerugian
yang adapun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun jika modal rusak atau
hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama hanafiyah.
Beberapa
hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan
modal kepada pengusaha antara lain :
a.
Pemilik modal
memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, member, atau
mengambil barang.
b.
Pemilik modal
mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja
kecuali atas seizinnya.
c.
Pemilik modal
memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut
dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.
2.
Syarat Sahih
Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan
akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta
tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan
perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang
didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama
dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan
maksud akad perjanjian mudharabah.[7]
E. Ketentuan-Ketentuan
Dalam Mudharabah
1.
Modal mudharabah
harus berupa mata uang penuh yang ditentukan sewaktu akad dan diserahkan kepada
pihak pengusaha setelah selesai ijab sesuai dengan yang telah disepakati.
2.
Pembagian keuntungan
tidak sah jika hanya dilakukan sebelah pihak.
3.
Dasar dari
pembiayaan mudharabah adalah modal berasal dari pihak pemodal sedang kerja
dilakukan oleh pihak pengusaha.
4.
Jika dalam usaha
megalami kerugian maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.sedangkan pihak
pengusaha menanggung kerugian berupa tidak mendapatkannya hasil jerih payah
selama usaha itu berjalan.
5.
Mudharabah dapat
dibubarkan oleh pemilik modal pada waktu kapanpun sebelum usaha tersebut
dimulai.
6.
Usaha yang
dijalankan harus halal.
7.
Mudharabah harus
dilakukan oleh dua pihak dan disahkan oleh hokum yang berlaku.
8.
Dilarang
mencampur adukan harta mudharabah
dengan harta pribadi atau harta lainnya.
9.
Perjanjian mudharabah selesai dengan jangka waktu
yang telah disepakati atau meninggalnya salah satu pihak.
10. Jika terjadi pembatalan maka modal dan untung harus
dikembalikan kepada pemodal, dan pengusaha berhak menuntut upah atas usaha yang
sudah dijalankan.
11. Jika terjadi suatu kerusakan maka kerusakan tersebut
dapat diganti dari keuntungan yang sudah ada[8].
F. Rukun
Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni dengan menggunakan lafadz
mudharabah, muqaridah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga yaitu:
1.
Dua orang yang
melakukan akad (al-aqidani)
2.
Modal (ma’qudalaih)
3.
Sighat (ijab dan qabul)
Sedangkan ulama salafiyah
lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, sighat,
dan dua orang yang akad.[9]
Sedangkan
imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah
ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua
pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap
kembali kepada tiga rukun di atas.
1.
Adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua
pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan
pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al
Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid
dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa
keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak
ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak
mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang
kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan
terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari
praktek riba dan haram.
2.
Objek Transaksi.
Objek
transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada
empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1.
Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd)
dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut
pendapat yang rojih.
2.
Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3. Modal yang diserahkan harus
tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola
modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi
dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan
penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa
alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak
diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut
dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut
yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil
toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka
ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil
tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut
adalah Rp 80 juta.
Kejelasan
jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila
modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa
jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu,
sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis
Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang
perniagaan
2. Tidak menyusahkan pengelola modal
dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar
sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara
yang sangat jarang sekali adanya.
Asal
dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang
tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi
perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan
sebagainya.
c. Pembatasan
Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan
membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab
Hambaliyyah. Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem
sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan,
pada sisi yang lainnya.
d. Keuntungan
Setiap
usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah.
Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat
syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak
yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal.
Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan
menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3
untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali
disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh
bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan
separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah
karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2. Pembagian keuntungan untuk berdua
tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja
sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini
dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
3. Keuntungan harus diketahui secara
jelas.
- Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentukan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam
pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
- Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.”
Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak
memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai
kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk
persentase.
- Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah). Beliaupun merajihkan pendapat ini.
- Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.
- Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama.
Tidak
dapat melakukannya karena tiga hal:
- Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
- Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
- Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil
sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua. Hak mendapatkan keuntungan tidak
akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap
usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan
yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum
diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada.
Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan
modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum
dilakukan perhitungan akhir. Perhitungan akhir yang
mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam yaitu :
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha.
Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan
menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish
Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset
dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali,
berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang
lalu.
e. Pelafalan
Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari
kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah
ini terdiri dari ijab qabul.
Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan
dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[10]
G. Hikmah Disyariatkan
Mudharabah
Islam mensyariatkan kerjasama mudharabah
untuk memudahkan orang pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, karena sebagian
mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelola hartanya, dan disana ada
orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya.
Maka syariat memperbolehkan kerjasama ini agar mereka bisa saling
mengambil manfaat diantara mereka. Shahibul
Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudharib
(pengelola), dimana dia memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah
kerjasama harta dan amal. Karena Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali
untuk kemaslahatan serta menolak kerusakan[11].
H. Berakhirnya
Usaha Mudharabah
Berakhirnya suatu usaha mudharabah
dapat terjadi apa bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1.
Debitur
telah membayar lunas atas modal yang diterimanya.
2.
Pembatalan
perjanjian mudharabah yang dilakukan
oleh pihak debitur.
3.
Musnahnya objek
pembiayaan.
4.
Terjadinya
kerugian total yang dialami oleh kreditur sehingga menyebabkan tidak sanggupnya
mengembalikan modal dari debitur.
5.
Kreditur mengakhiri
pembiayaan apabila usahanya mengalami kerugian terus menerus.[12]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kontrak mudharabah ini, jika
dikaitkan dengan teori keuangan, merupakan kontrak keuangan yang sangat
berhubungan dengan masalah agency.
Agent (mudharib) dalam kontrak mudharabah sangat mungkin melakukan
penyimpangan-penyimpangn keuangan hasil proyek yang dijalankan karena control
pemilik modal tidak optimal. Penyimpangan-penyimpangn itu berkaitan dengan
aspek :
a.
Standar moral
b.
Ketidakefektifan
modal pembiayaan bagi hasil
c.
Berkaitan dengan
pengusaha
d.
Biaya, teknis
e.
Kurang
menariknya system bagi hasil dalam aktivitas bisnis
f.
Permasalahan efisiensi
(saeed 2003: 128-132).
Hal
ini merupakan permasalahan mendasar dalam kontrak mudharabah. Pada sisi lain
kontrak mudharabah merupakan salah satu bentuk pembiayaan tanpa bunga dan
tentunya mudharabah sangat berbeda dengan bank yang menggunakan system bunga.
Didalam
kontrak mudharabah akan melakukan Aspek-aspek atau Rukun mudharabah atas dasar kesepakatan bersama yaitu :
a.
Pemilik modal
b.
Pelaku usaha/mudharib/agent
c.
Proyek yang akan
dijalankan
d.
Nisbah
pembagian keuntungan dan porsi pembagian kerugian jika hal itu terjadi
e.
Masa kontrak
atau perjanjian serta syarat-syarat lain yang mendukung berjalannya kontrak
mudharabah.
Jika aspek-aspek atau rukun tersebut dipenuhi, maka
dimungkinkan dapat memperkecil terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh pelaku usaha serta dapat mengoptimalkan kontrak mudharabah
tersebut.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Sarwat. Seri Fiqih
Kehidupan. Jakarta Selatan: DU Publishing
Antonio, M.S. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.
Lewis, M.K, Lativa M.A. 2001. Perbankan Syari’ah Prinsip Praktek Prospek. Jakarta. PT. Serambi
Ilmu Semesta.
Muhammad. 2008. Manajemen
Pembiayaan Mudharabah Di Bank Syari’ah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, Stain, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka
Setia.
Sumitro. 2004. Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
[1] Mervin
K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Prinsip
Praktek dan Prospek (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001)
hal. 66.
[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah,dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001)
hal. 95
[8] Warkum Sumitro, Asas-Asas
Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 101
[13]
Muhammad, manajemen
pembiayaan mudharabah di bank syari’ah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008) hal. 5-6
0 comments:
Post a Comment