Wednesday 2 May 2012

PENGEMBANGAN EKONOMI SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM


Membahas apa, mengapa, dan bagaimana ekonomi syariah tidak lepas dari pembahasan kondisi ekonomi secara global saat ini. Sebagaimana kita ikuti dari berbagai pemberitaan media massa dan juga yang dirasakan sendiri baik secara lokal, nasional maupun internasional, bahwa saat ini sedang terjadi krisis ekonomi yang bersifat global. Krisis global ini diawali dengan krisis financial kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi secara global. Mengapa terjadi seperti itu? Jawabannya relatif tergantung dari sudut mana dipandangnya. Dalam sudut pandang ekonomi terdapat tipe-tipe ekonomi, yaitu makro ekonomi dan mikro ekonomi, serta sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis, atau sistem ekonomi Islam berbasis syariah.
Sistem Ekonomi Kapitalis
Ekonomi secara konvensional ada dua kutub ekstrim, yaitu kapitalis dan sosialis. Ekonomi kapitalis adalah ekonomi bebas. Bebas dalam artian tidak ada kendali dan campur tangan dan bahkan norma pun hampir tidak ada, bahkan sampai menjual hutang orang pun diperbolehkan. Keadaan ini dipraktekan di negara-negara kapitalis diantaranya Amerika Serikat. Bukan bebas mengikuti ekonomi pasar saja, tetapi bebas dengan tidak ada sama sekali kendali terutama yang berkaitan dengan norma, itulah intinya kapitalis. Negara Amerika Serikat adalah penganut sistem kapitalis yang paling fanatik. Ada kasus diantaranya yang mencuat ke permukaan, yaitu kasus dalam praktek bisnis yang dijalankan oleh Lehman Brother’s, yaitu suatu perusahaan yang bergerak di bidang kredit rumah. Di Amerika Serikat sama halnya dengan di Indonesia, jika membeli rumah, maka bisa menggunakan mekanisme kredit pemilikan rumah (KPR). Penyandang dana dari kredit ini yang paling popular adalah Lehman. Salah satu pasar yang paling banyak adalah sub prime mortgage. Mekanisme kebebasan dalam menjalankan bisnis itu karena adanya nilai agunan. Nilai agunan itu merupakan rumah yang harganya akan terus meningkat.
Sejak Oktober 2008 lalu, masyarakat dunia diliputi kecemasan atas kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global yang dipicu oleh kredit macet di bidang property (subprime mortgage) di Amerika Serikat. Berbagai bursa mengalami penurunan. Sebagian besar saham perusahaan global dan lokal yang tercatat di bursa terus mengalami penurunan tajam. Kondisi ini memaksa pemerintah dan bank sentral di berbagai negara berpikir keras agar tidak terseret masuk ke dalam jurang resesi. Krisis keuangan global mendorong penurunan tingkat kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan dan pebankan konvensional. Dalam hal ini terjadi contagion effect, di mana terus menurunnya tingkat kepercayaan pasar menular ke berbagai wilayah seiring dengan meluasnya dampak krisis keuangan global.
Itulah satu contoh kecil saja tentang bagaimana kerasnya sistem kapitalis. Maka penghutang-penghutang atau debitur-debitur itu dijual lagi kepada lembaga keuangan yang lain dengan harga yang lain. Maksudnya agar perusahaan itu dapat memperoleh cash dalam waktu yang cepat dan dijual kepada pembeli yang lain. Kegiatan ini berlangsung terus menerus bertumpuk-tumpuk termasuk lembaga keuangan ini, termasuk pula negara-negara yang memiliki banyak uang membeli kreditor-kreditor. Hal ini terjadi karena jika debitor-debitor itu tidak mampu membayarnya, maka masih ada agunannya. Agunan itu tidak akan pernah turun harganya. Dengan cara seperti ini semua orang dalam teori ini memperoleh keuntungan, tetapi persoalannya adalah uang itu bukan hanya dalam bentuk agunan atau bukan hanya dalam bentuk surat-surat, tetapi untuk bisa menjalankan roda ekonomi maka uangnya harus dalam bentuk cash. Kalau pembeli itu diambil agar resesif, maka banyak orang yang kebetulan menjadi nasabah yang diperas adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah, jadi mereka tidak bisa mengembalikannya. Tentu saja akan terjadi kredit macet. Kalau terjadi kredit macet, tentu lembaga keuangannya pun tidak punya uang. Jika jumlah uang akibat kredit macet atau tidak dimiliki oleh lembaga keuangan sangat besar, misalnya satu milyar dollar, maka terjadilah krisis ekonomi.
Sistem Ekonomi Sosialis
Sistem ekonomi sosialis perekonomian dikendalikan sepenuhnya oleh negara. Nilai kepemilikan perorangan hampir tidak ada, karena yang ada hanya milik pemerintah. Kalau pun ada hanya hak pakai saja untuk jangka waktu tertentu misalnya untuk 50 tahun. Menurut teori ekonomi dari Keynes dalam kondisi ekonomi tersebut, maka campur tangan pemerintah hanya untuk memberdayakan masyarakat dan membangun infrastruktur yang menjadi kewajiban pemerintah. Sistem ini sekarang sudah hampir ditinggalkan orang di berbagai negara, terutama oleh negara-negara di Eropa timur atau Cina yang berpaham komunis yang dahulu sebagai penganutnya. Negara-negara yang menganut paham sosialis atau komunis ini pun sudah memiliki prinsip-prinsip semi kapitalis atau mengadopsi prinsip ekonomi kapitalis.
Kondisi ini mendorong pasar mencari sistem keuangan alternatif yang bisa menjadi solusi agar mereka tidak lagi mengalami derita serupa. Salah satu yang dibidik adalah sistem keuangan Islam atau sistem keuangan syariah.
Sistem Ekonomi Islam Berbasis Syariah
Pada bulan Oktober tahun 2008 Al-Jazeera TV, sebuah stasiun TV terkenal di dunia yang berkedudukan di Qatar, melakukan polling tentang sistem ekonomi yang dipercaya paling baik untuk diterapkan di dunia. Respondennya sebanyak 29.486. Polling itu berisikan pertanyaan,“Setelah krisis keuangan global melanda, sistem keuangan apa yang anda percaya paling baik untuk diterapkan di dunia?” Hasilnya adalah 88,5% dari 29.486 responden menjawab sistem ekonomi Islam. Sedangkan responden yang memilih sistem ekonomi kapitalis hanya 5,0% saja, dan yang memilih sistem ekonomi keuangan komunis sebanyak 6,5%.
Ekonomi Islam tidak seperti kedua sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, karena sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, karena menunjukkan siapa yang kuat dan bisa, dialah yang berkuasa, bahkan mengancam. Islam tidak mengajarkan negara yang memegang kendali sepenuhnya ekonomi rakyat, atau membebaskan ekonomi sepenuhnya kepada rakyatnya, karena salah satu asas dalam ekonomi Islam adalah kalau pun ada umat Islam yang memiliki kekayaan yang banyak, maka dalam keyataannya ada hak orang lain yang harus diinstruksikan atau dituangkan. Manusia boleh berusaha, tetapi ada norma-norma dan aturan yang harus ditaati.
Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi yang lainnya, kapitalis atau sosialis, Islam menekankan pada aturan dan norma di dalam praktek menjalankan bisnis maupun transaksi-transaksi. Itulah pentingnya yang disebut sebagai syariah yang disebutnya aturan-aturan, baik di dalam menjalankan bisnis maupun bertransaksi. Jadi sebetulnya ekonomi syariah itu adalah ekonomi yang sangat balance yaitu mementingkan orang-orang yang memiliki modal tetapi mementingkan juga orang-orang yang menjalankan usaha. Itu sebabnya sekarang berkembang teori-teori tentang ekonomi syariat itu. Perkembangan itu pun tidak hanya di negara-negara Islam saja. Di negara-negara barat seperti Inggris pun sekarang mulai pada memperhatikan tentang teori-teori ekonomi syariah dan banyak sekali definisi-definisi tentang ekonomi syariah yang sudah dikembangkan, baik dalam konteks makro maupun mikro.
Pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi syariah berawal dari pemahaman bahwa Islam datang ke bumi ini intinya untuk membuat manusia itu bagian dalam kehidupan yang sekarang di dunia dan dalam kehidupan yang akan datang di akhirat nanti. Namun hidup senang dan bahagia di dunia ini bukan tujuan, hanya merupakan jalan saja supaya di akhirat juga bahagia. Kalau hidup bahagia di dunia saja, maka seperti ekonomi sosialis dan new kapitalis. Hidup bahagia di dunia biasanya indikator-indikatornya diukur dari ekonominya, terutama menurut pandangan orang awam. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup menurut kaidah-kaidah ekonomi memerlukan training aid. Indikator hidup bahagia meliputi terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier atau kuarter. Bahkan Islam pun mengajarkan agar jangan hidup miskin. Di dunia ini manusia harus berusaha agar tidak miskin, seperti sabda Rasululloh saw bahwa kefakiran itu mendekatkan kepada kekufuran. Oleh karena itu jika memiliki sesuatu maka harus berbagi dengan sesama. Kebahagiaan itu akan terasa berkurang jika di sampingnya terdapat orang yang kekurangan, maka untuk menyempurnakan kebahagian itu maka hendaknya berbagilah terhadap sesama. Apalagi di dalam setiap harta kita terdapat hak-hak orang lain yang wajib dikeluarkan dalam bentuk zakat atau infak, atau sedekah. Berbagi harta bukan berarti memberikan semuanya, tetapi ada porsi yang harus diberikan. Jika semuanya diberikan artinya bukan berbagi tetapi memberikan semuanya. Wajib itu sedikit sekali tergantung kepada bagaimana dan upaya memperoleh harta tersebut. Kalau memperolehnya cukup berat, porsi yang harus diberikan wajib itu kecil sekali. Misalnya dalam zakat pertanian yang mengandalkan air curahan hujan, maka zakatnya lebih tinggi daripada pertanian yang airnya diusahakan. Jadi porsinya sesuai dengan cara memperolehnya. Apalagi kalau berbisnis yang menuntut upaya-upaya yang sangat berat, maka porsi yang dibagi hanya 2,5% yang wajib dibagikan. Jika tidak dibagikan, maka akan mendapatkan ancaman dari Allah swt., harta itu akan menjadi api yang membakar.
Jadi porsi-porsi yang harus diberikan sesuai dengan cara memperolehnya, termasuk cara memperolehnya sangat murah dan mudah. Misalnya barang temuan, rikaz, ma’dan, atau pada jaman sekarang berupa hadiah-hadiah seperti barang yang jatuh dari langit yang untuk memperolehnya tidak perlu usaha keras. Terhadap barang-barang ini zakatnya lebih tinggi yang wajib dikeluarkan yaitu 20% atau ada yang sampai 50%. Artinya Islam itu sangat adil di dalam menerapkan ekonomi. Dalam ekonomi syariah diperhatikan sekali proses bisnisnya dan proses transaksinya. Islam menjelaskan bisnis yang memberikan pilihan-pilihan kepada siapa pun. Dalam Al Quran dijelaskan bahwa sesungguhnya jual beli itu milik kedua belah pihak. Allah swt.  menghalalkan jual beli dengan transaksi dan kaidah-kaidah Islam dan mengharamkan riba. Riba diharamkan karena ada pihak yang dirugikan. Digariskan oleh Rasulullah saw. yang dituangkan dalam kaidah-kadiah fiqh, misalnya diantara setiap transaksi hutang di mana sistem-sistem hutang kreditur yang menarik manfaat dari debitur, maka manfaat yang ditarik dari transaksi itu adalah riba. Tentang riba ini memang banyak perdebatan, termasuk juga masalah perbankan konvensional. Jadi dalam menerapkan sistem ekonomi syariah memberikan perlindungan atau jaminan kepada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Jika diterapkan sistem perekonomian dalam masyarakat, maka semua akan terlindungi dan norma-norma yang diatur oleh syariah yang diarahkan untuk kebaikan umat (khoirul ummat).
Pertumbuhan Perbankan Syariah di Indonesia
Sistem keuangan Islam telah menjadi salah satu segmen keuangan yang pertumbuhannya paling cepat, diperkirakan mencapai 20% mulai 2008 hingga 2012. Saat ini ada US $600 miliar asset yang dikelola oleh perbankan Islam. Diperkitakan akan tumbuh mencapai satu triliyun dollar AS dalam beberapa tahun mendatang. Pertumbuhan yang pesat juga muncul dari segmen sistem keuangan Islam, misalnya Islamic mutual fund diperkirakan telah mencapai 300 miliyar dollar AS dan diperkirakan akan mencapai tiga kali lipat pada akhir dekade ini. Tahun 2007 pertumbuhan luar biasa terjadi pada pasar sukuk dunia yang tumbuh lebih dari 70%. Sukuk baru yang diluncurkan telah mencapai rekor yang tinggi sekitar 47 miliar dollar AS dan pasar sukuk dunia telah melebihi 100 miliar dollar AS.
Pendirian bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 November 1991 (27 Syawal 1412 H), merupakan prestasi tersendiri mulai diperkenalkannya ekonomi Islam di Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pemerintah, dan dukungan dari para cendekiawan, serta beberapa pengusaha Muslim yang nota bene termasuk kalangan kelas menengah-atas dalam struktur piramid sosial umat Islam saat itu.
Berdirinya BMI mengilhami pendirian badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada 5 Jumadil Awwal 1414 H (21 Oktober 1993). Pada tanggal 24 Desember 2003 BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Beroperasinya BMI juga diikuti pendirian lembaga-lembaga keuangan mikro syariah yaitu BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah), kemudian didirikan Baitul al-Maal wat Tamwil (BMT). BMT merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat, terutama masyarakt kecil dan kecil bawah, dengan berlandaskan sistem syariah. BMT sering pula disebut dengan Balai usaha Mandiri Terpadu yang terdiri dari Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Kegiatan baitul maal seperti menerima titipan zakat, infak, dan shodaqoh sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Kegiatan baitul tamwil seperti mengembangkan usaha-usaha produktif dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi, seperti menabung, terutama bagi masyarakat kecil dan kecil bawah. Selain BMT, ada pula Kopontren yaitu koperasi pesantren yang biasanya didirikan di pesantren. Kegiatannya, bukan hanya melayani perekonomian para santri atau anggota pesantren lainnya, tetapi juga masyarakat di sekitarnya.
BMI mensponsori pendirian asuransi Islam pertama kali di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1997, BMI membidani lembaga Reksadana Syariah dan lembaga pembiayaan (multi finance) Syariah, yaitu BNI-Fiscal Islamic Finance Company. Tahun 1997 MUI juga mendirikan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Fungsi utama DSN adalah mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah (bank asuransi, reksadana, dll.) agar sesuai dengan syariah. Keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 membuka peluang pengembangan sistem ekonomi syariah.
Akhir tahun 2003 berdiri dua bank umum syariah, 8 unit Usaha Syariah dan 89 BPRS dengan total asset sekitar 0,54 persen dari asset total perbankan nasional. Pertumbuhan rata-rata pangsa pasar perbankan syariah sangat cepat, 53% per tahun dibandingkan dengan perbankan konvensional yang hanya rata-rata 5,3%. Hal ini menjadikan bank konvensional tertarik ikut andil membuka cabang syariah, sehingga pasar perbankan syariah akan semakin ramai.
Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam tentang Ekonomi Syariah
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah relevansi pendidikan atau interaksi antara dunia nyata dan dunia pendidikan yang sangat penting. Tujuannya agar pendidikan menjadi relevan sesuai kebutuhan masyarakat baik dari aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Sektor ekonomi-industri dan pendidikan harus memiliki sinergi positif yang saling mendorong perkembangannya. Dengan sinergi positif medan industri diuntungkan, dan dunia pendidikan dapat diberdayakan. Pendidikan tinggi dapat melakukan berbagai inovasi melalui Research and Development (R&D) yang mendukung pertumbuhan ekonomi-industri dan menciptakan pasar bagi produk yang bersangkutan. Perguruan tinggi agama Islam memiliki peran menentukan bagi arah pengembangan ekonomi syariah dengan melibatkan sumber-sumber daya yang dimiliki dan berkontribusi secara nyata dalam perkembangan tersebut.
Ada hal penting berkaitan dengan kebijakan tentang harapan, terutama dalam pengembangan perguruan tinggi agama Islam tentang ekonomi syariah. Ekonomi syariah sekarang ini sedang menghadapi peluang dan tantangan.
Ekonomi Syariah Menghadapi Peluang dan Tantangan
Peluang yang sedang dihadapi syariah adalah syariah sudah menarik banyak orang terutama yang berkaitan dalam kegiatan-kegiatan bisnis. Ini tidak hanya digunakan oleh dunia bisnis dari perusahaan-perusahaan milik negara maupun perusahaan-perusahaan domestik. Tapi banyak perusahaan asing terutama perbankan yang sudah mulai melebarkan sayapnya karena memang banyak pangsa pasar tertentu yang cukup luas yang bisa berkesempatan untuk memperoleh keuntungan. Artinya yang namanya orang bisnis apa saja yang dapat memperoleh keuntungan itu bisa dilakukan. Sekarang kita sedang menghadapi peluang terutama sebagai produser human resources, di mana kegiatan-kegiatan bisnis yang berlandaskan syariah ini sudah mulai meluas khususnya dalam bidang perbankan ini sudah mulai menjadi objek pelebaran sayap dari bank-bank dan bukan hanya bank dalam negeri, melainkan bank-bank asing. Karena pangsa pasar itu melihat dari peta populasi kita, populasi dunia, berapa persen orang muslim yang berpotensi menjadi pangsa pasar dari produk-produk yang berprinsip syariah ini.
Tantangan yang dihadapi ekonomi syariah yaitu, pertama tantangan kelembagaan, yang kedua adalah tantangan yang berkaitan dengan kurikulum, dan yang ketiga yaitu tantangan dari sikap kita sendiri dalam menghadapi peluang yang besar itu.
Pertama merespons tantangan kelembagaan. Mengenai tantangan kelembagaan ini secara kelembagaan bahwa sumber daya manusia yang diharapkan bisa mengisi posisi-posisi utama di dalam bisnis syariah itu diproduksi bukan hanya oleh Universitas Islam Negeri (UIN), tetapi juga oleh lembaga-lembaga lain yang memanfaatkan ekonomi syariah. Mampukah lulusan dari ekonomi syariah perguruan tinggi agama Islam bersaing dengan lulusan dari Perguruan Tinggi  lainnya? Secara pragmatis misalnya bank-bank syariah akan senang mengambil orang yang mengerti dan paham mengenai konsep-konsep detail dari ekonomi berbasis syariah, dibandingkan dengan yang hanya memahami tentang hukum-hukum Islam yang dipoles dengan pemahaman mengenai ekonomi syariah. Orang-orang seperti ini akan jauh lebih bisa berpikir komplek dalam memahami bisnis syariah dibandingkan dengan orang yang hanya memahami hukum syariahnya saja.
Kedua merespons tantangan yang berkaitan dengan kurikulum. Tantangan-tantangan kelembagaan ini harus dikaitkan dengan kurikulum dari program studi atau fakultas yang berhubungan dengan syariah itu sendiri. Kegiatan ekonomi syariah itu mengandung dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan aspek syariah. Aspek ekonomi adalah aspek kebutuhan-kebutuhan manusia, di dalam definisi kegiatan ekonomi adalah kegiatan-kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam dunia ilmu pengetahuan ini sudah berkembang sangat pesat dan dulunya merupakan bagian dari cabang ilmu sosial, tetapi sekarang para ahli ekonomi ini tidak mau dikatakan sebagai ahli ilmu sosial. Ini adalah ilmu sosial yang cukup keras dan cukup sulit, karena pertama, ini dibangun berdasarkan atas data-data yang bersifat empiric. Kedua, teori-teori ekonomi ini jauh lebih mapan dibandingkan dengan teori-teori ilmu sosial yang lainnya, karena dalam definisi ilmu pengetahuan itu berbeda dengan teori yang pada umumnya dipahami oleh orang-orang ilmu sosial, kalau dalam pemahaman orang-orang ilmu sosial teori itu merupakan pernyataan yang bisa digunakan untuk melaksanakan sesuatu, tetapi di dalam konteks ilmu pengetahuan yang mapan seperti ilmu ekonomi.
Di dalam ilmu-ilmu sains atau ilmu-ilmu alamiah yang namanya teori scientific harus memenuhi tiga kriteria, yang pertama adalah bisa berfungsi deskriptif atau berfungsi menjelaskan sesuatu. Jadi jika suatu teori itu bisa menjelaskan sesuatu maka dianggap memenuhi satu kriteria dari apa yang disebut dengan saintific theory. Yang kedua adalah berfungsi predictif untuk memprediksi atau meramalkan/memperkirakan sesuatu yang akan datang. Yang ketiga adalah berfungsi control atau mengendalikan sesuatu. Teori-teori pada ilmu pengetahuan yang dianggap sudah establish, maka ketiga fungsi ini benar-benar bisa ada. Jadi selain paham tentang suatu teori ekonomi, misalnya teori klasik dalam bidang ekonomi, maka kita bisa menjelaskan bahkan bisa memprediksi dan  juga bisa mengandalkan fenomena-fenomena ekonomi itu.
Mengapa teori-teori ini bisa berfungsi seperti itu, karena suatu teori itu dibangun dari suatu rangkaian kegiatan. teori berdasarkan kepada fakta yang disebut dengan data. Jadi teori ini dibangun berdasarkan data yang kemudian data tersebut dikumpulkan dan membentuk suatu konsep, kemudian konsep tersebut membentuk skema konsep, dari skema konsep ini akan dibentuk dalil-dalil atau hukum baru kemudian dibentuk teori-teori yang saintific tadi. Itulah yang disebut dengan saintific investigation dan saintific pormition. Pembentukan teori-teori ilmiah itu dikenal dengan suatu motto, “nothing in the world as concrete as theory”, di dunia ini tidak ada sesuatu yang lebih konkrit daripada sebuah teori. Padahal teori itu sendiri abstrak, sehingga kalau orang menguasai sebuah teori bahwa dia akan melihat dengan ainulyakin suatu fenomena itu. Misalnya dalam teori ekonomi mengapa perekonomian Indonesia mengalami kehancuran? Maka kita akan melihat fenomena itu dengan ainulyakin yang disebabkan oleh berbagai faktor, meskipun perspektif itu berbeda karena ada sejumlah aliran di dalam teori-teori itu sendiri. Karena kadang-kadang di dunia ini memandang bahwa teori hanya sekedar penjelasan saja, sehingga pandangan pribadi pun dianggap sebagai suatu teori, yang lebih celaka lagi yaitu teori-teori yang menghujat Islam. Menghujat yang datang dari para akademisi bergelar tinggi, bahwa ilmu keislaman itu dianggap sebagai suatu teori yang mapan yang berada di luar tradisi kita. Tetapi sekarang dalam ilmu penngetahuan hal seperti itu tadi bukan scientific theory tetapi filoshofical theory yang sifatnya sebagai teori. Ini memerlukan verifikasi dengan fakta-fakta empirik. Tetapi sangat aneh justru orang-orang yang sangat paham tentang Islam, menggali Islam menurut pengalaman kita sekarang, muncullah orang-orang yang memandang bahwa pemikiran dirinya itu suatu teori sehingga menganggap dia berpikir apa saja bebas. Inilah fenomena yang kurang sedap didengar. Pemikiran bebas yang kadang-kadang ia menghujat tentang agamanya sendiri.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan selain saintific teori dikenal pula dengan sebutan commoncence. Commoncence adalah akal sehat yang masuk akal, yang masuk akal itu bukan berarti itu teori, dan ini tidak akan mungkin menjadi suatu teori bahkan verifikasinya itu memerlukan jangka yang panjang sekali. Bahkan muncul pertanyaan mengapa teori itu bisa digunakan untuk suatu prediksi. Ketika dia melakukan penelitian yang sebanyak itu memerlukan longitudible research. Dia menggunakan berbagai macam metode analisis statistic, dengan kunci utama analisis statistic yang digunakan adalah regretion analysis (analisis regresi). Analisis regresi adalah persamaan-persamaan fungsi yang nantinya bisa digunakan untuk memprediksi, sehingga nanti kita menemukan suatu koofisien sebagai alfa, kemudian kita menemukan koofisien beta, maka berapa beta yang kita perlukan untuk bisa menyimpulkan bahwa ini memiliki hubungan antara variable satu dengan variable yang lain. Memang fungsi utama dari teori-teori dalam ekonomi itu penelitiannya dengan menggunakan metode yang disebut analisis regresi tadi.
Analisis regresi ini pengembangannya sangat luas bahkan di dalam suatu teori bisa diturunkan yaitu apa yang disebut dengan model. Model ini semacam persamaan fungsi. Artinya suatu Y ditentukan oleh suatu fungsi daripada apa dan apa. Maka ada suatu proses kuantifikasi di dalam ekonomi yang disebut dengan model. Atas dasar ini kita kembali bahwa ekonomi itu dianggap bukan ilmu sosial karena memang ekonomi itu sesuatu yang establish dari suatu ilmu pengetahuan dan yang lainnya. Maka kita perlu menyesuaikan kemampuan-kemampuan kita ini untuk menuju pada bidang-bidang dari ilmu pengetahuan sendiri.
Berkaitan dengan ini maka kurikulumnya akan disesuaikan dengan tuntutan KMA tetapi sekarang ini belum bisa dilakukan, tetapi kalau KMA sudah beredar dan berlaku, maka kurikulum harus disesuaikan dengan KMA dengan cara masing-masing proram studi ini mereviuw kembali apakah kurikulumnya sudah sesuai dengan tuntutan atau belum, sebab kurikulum inilah yang akan menentukan respon pasar terhadap lulusan kita. Oleh karena itu kurikulum benar-benar menjadi respons terhadap tuntutan-tuntutan pasar. Untuk itu kurikulum sangat penting untuk ditampilkan di dalam transkrip sehingga nanti pasar bisa merespon apa yang sesuai dengan kebutuhannya.
Ketiga, merespons tantangan dengan sumber daya manusia. Satu hal yang sangat penting dalam merespons tantangan syariah yang ketiga berkaitan dengan sumber daya manusia. Sumber daya manusia Perguruan Tinggi kita memang sedang dalam masa transisi. Kalau kita melihat UIN yang sudah memperoleh mandat untuk memperluas program studinya, pada umumnya dosen-dosennya itu belum direncanakan atau care planning, sehingga belum sesuai dengan tuntutan kebutuhan di fakultas maupun jurusannya masing-masing. Untuk itu di perguruan tinggi agama Islam hendaknya dibuatkan standar kelayakan minimum. Artinya setiap program studi itu harus punya rencana atau harus direncanakan, yaitu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan minimum itu harus berapa lulusan S2 yang dimiliki dan berapa lulusan S3 yang harus dimiliki, dalam bidang apa dan kapan harus terpenuhinya. Kalau ini dipegang tentu perencanaan karir dari sumber daya manusia yang dimiliki ini sudah ada sistematisnya. Jadi ada ancaman pengendalian di masa-masa yang akan datang perkembangan fakultas ini benar-benar bisa berjalan dengan baik dan rasional sehingga mutu lulusannya sesuai dengan tuntutan-tuntutan pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Perbankan
CBS – Bappenas – UNFPA. (2000). Indonesian Population Trend, 2000 – 2005. Jakarta: Bappenas.
Bappenas-Mone-Mora. (2000). Projection of Gross Enrollment Rates, 2000 – 2005. Jakarta: Bappenas.

MENGENAL KONSEP MUDHARABAH


MENGENAL KONSEP MUDHARABAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Islam
Dosen Pembimbing :
-    Prof. Dr. Suharto, MA
-    Mardiyah Hayati, M.Si

Disusun Oleh :
Jumadi             1121040179






 

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A 2011/2012

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT,  karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "Mengenal Konsep Mudharabah" tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.


Penulis





 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................  i
DAFTAR ISI ................................................................................................  ii
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................  1
Latar Belakang ...................................................................................  1
BAB II. PEMBAHASAN ...........................................................................  2
Pengertian Mudharabah .....................................................................  2
Dasar Hukum Mudharabah ................................................................  2
Jenis-Jenis Mudharabah ......................................................................  4
Syarat-Syarat Mudharabah .................................................................  4
Ketentuan-Ketentuan Dalam Mudharabah ........................................  6
Rukun Mudharabah ............................................................................  7
Hikmah Disyariatkannya Mudharabah ...............................................  13
Berakhirnya Usaha Mudharabah ........................................................  13
BAB III. PENUTUP ....................................................................................  15
Kesimpulan .........................................................................................  15
DAFTAR PUSTAKA
 

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal

Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001). Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.

Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbankan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam bisnis Islam dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.




A.     
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Mudharabah
Mudharabah dapat di definisikan sebagai sebuah perjanjian antara dua belah pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahibul mal) mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas usaha.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Mudharabah didefinisikan sebagai akad persekutuan dalam keuntungan dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lain.

Dalam mudharabah pihak pemodal tidak diberikan peran dalam manajemen perusahaan. Konsekuensinya mudharabah  merupakan perjanjian PLS dimana yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai[1].

B.   Dasar Hukum Mudharabah
Secara umum dasar hukum al mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits sebagai berikut :
a.    Alqur’an
Artinya : dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT... (Al-Muzzamil : 20)

   Yang menjadi argument dari al muzzamil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
  
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah  (al-Jumuah: 10)

Artinya :  Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.  (Al-Baqarah: 198)

b.   Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).

Dari shalih bin shuhaib ra. Bahwa rasulullah saw bersabda, “ tiga hal yang didalamnya terdapat tiga keberkatan : jual beli secara tangguh, muqharadah (mudharabah), dan mencampur gandum untuk keperlan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)[2]

c.    Ijma
Diantara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.[3]


d.   Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat mengelola hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang yang mau bekerja tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.[4]

C.  Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu, mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayadah.
a.       Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

b.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.[5]

D.  Syarat-syarat Mudharabah
1.      Syarat Aqidani
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, namun dalam hal ini mudharabah diperbolehkan bagi orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi dinegara Islam.
Adapun ulama malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba.

2.      Syarat Modal
a.       Modal harus berupa uang atau sejenisnya yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-Syirkah).
b.      Modal arus jelas dan memiliki ukuran
c.       Modal tidak berupa hutang
d.      Modal harus diberikan kepada pengusaha.

3.      Syarat-Syarat Laba
a.       Laba harus memiliki ukuran
b.      Laba harus berupa bagian yang umum[6]

Selain syarat-syarat diatas ada pula syarat yang lainnya yaitu syarat fasid dan syarat sahih
1.      Syarat fasid (tidak benar)
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan “berburulah dengan jarring saya dan hasil buruannya dibagi diantara kita” ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabillah berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang sahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapat buruan atau tidak.

Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akad fasid. Dan tentu saja kerugian yang adapun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama hanafiyah.
Beberapa hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan modal kepada pengusaha antara lain :
a.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, member, atau mengambil barang.
b.      Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja kecuali atas seizinnya.
c.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.

2.      Syarat Sahih
Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.[7]

E.   Ketentuan-Ketentuan Dalam Mudharabah
1.      Modal mudharabah harus berupa mata uang penuh yang ditentukan sewaktu akad dan diserahkan kepada pihak pengusaha setelah selesai ijab sesuai dengan yang telah disepakati.
2.      Pembagian keuntungan tidak sah jika hanya dilakukan sebelah pihak.
3.      Dasar dari pembiayaan mudharabah adalah modal berasal dari pihak pemodal sedang kerja dilakukan oleh pihak pengusaha.
4.      Jika dalam usaha megalami kerugian maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.sedangkan pihak pengusaha menanggung kerugian berupa tidak mendapatkannya hasil jerih payah selama usaha itu berjalan.
5.      Mudharabah dapat dibubarkan oleh pemilik modal pada waktu kapanpun sebelum usaha tersebut dimulai.
6.      Usaha yang dijalankan harus halal.
7.      Mudharabah harus dilakukan oleh dua pihak dan disahkan oleh hokum yang berlaku.
8.      Dilarang mencampur adukan harta mudharabah dengan harta pribadi atau harta lainnya.
9.      Perjanjian mudharabah selesai dengan jangka waktu yang telah disepakati atau meninggalnya salah satu pihak.
10.  Jika terjadi pembatalan maka modal dan untung harus dikembalikan kepada pemodal, dan pengusaha berhak menuntut upah atas usaha yang sudah dijalankan.
11.  Jika terjadi suatu kerusakan maka kerusakan tersebut dapat diganti dari keuntungan yang sudah ada[8].

F.   Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni dengan menggunakan lafadz mudharabah, muqaridah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga yaitu:
1.      Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)
2.      Modal (ma’qudalaih)
3.      Sighat (ijab dan qabul)
Sedangkan ulama salafiyah lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, sighat, dan dua orang yang akad.[9]

Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.

1.   Adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

2.   Objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a.    Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1.      Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
2.      Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3.      Modal yang diserahkan harus tertentu.
4.      Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.

Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b.   Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1.      Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2.      Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.

Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

c.    Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.




d.   Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1.      Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2.      Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
3.      Keuntungan harus diketahui secara jelas.
  1. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentukan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.

Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
  1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.”
Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.

  1. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah). Beliaupun merajihkan pendapat ini.

  1. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.


  1. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama.

Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
  1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
  2. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
  3. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir. Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam yaitu :
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

Kedua: Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

e.    Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[10]

G.  Hikmah Disyariatkan Mudharabah
Islam mensyariatkan kerjasama mudharabah untuk memudahkan orang pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelola hartanya, dan disana ada orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya.

Maka syariat memperbolehkan kerjasama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shahibul Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudharib (pengelola), dimana dia memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerjasama harta dan amal. Karena Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk kemaslahatan serta menolak kerusakan[11].

H.  Berakhirnya Usaha Mudharabah
Berakhirnya suatu usaha mudharabah dapat terjadi apa bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1.      Debitur telah membayar lunas atas modal yang diterimanya.
2.      Pembatalan perjanjian mudharabah yang dilakukan oleh pihak debitur.
3.      Musnahnya objek pembiayaan.
4.      Terjadinya kerugian total yang dialami oleh kreditur sehingga menyebabkan tidak sanggupnya mengembalikan modal dari debitur.
5.      Kreditur mengakhiri pembiayaan apabila usahanya mengalami kerugian terus menerus.[12]
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kontrak mudharabah ini, jika dikaitkan dengan teori keuangan, merupakan kontrak keuangan yang sangat berhubungan dengan masalah agency. Agent (mudharib) dalam kontrak mudharabah sangat mungkin melakukan penyimpangan-penyimpangn keuangan hasil proyek yang dijalankan karena control pemilik modal tidak optimal. Penyimpangan-penyimpangn itu berkaitan dengan aspek :
a.       Standar moral
b.      Ketidakefektifan modal pembiayaan bagi hasil
c.       Berkaitan dengan pengusaha
d.      Biaya, teknis
e.       Kurang menariknya system bagi hasil dalam aktivitas bisnis
f.       Permasalahan efisiensi (saeed 2003: 128-132).

Hal ini merupakan permasalahan mendasar dalam kontrak mudharabah. Pada sisi lain kontrak mudharabah merupakan salah satu bentuk pembiayaan tanpa bunga dan tentunya mudharabah sangat berbeda dengan bank yang menggunakan system bunga.

Didalam kontrak mudharabah akan melakukan Aspek-aspek atau Rukun mudharabah atas dasar kesepakatan bersama yaitu  :
a.       Pemilik modal
b.      Pelaku usaha/mudharib/agent
c.       Proyek yang akan dijalankan
d.      Nisbah pembagian keuntungan dan porsi pembagian kerugian jika hal itu terjadi
e.       Masa kontrak atau perjanjian serta syarat-syarat lain yang mendukung berjalannya kontrak mudharabah.

Jika aspek-aspek atau rukun tersebut dipenuhi, maka dimungkinkan dapat memperkecil terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha serta dapat mengoptimalkan kontrak mudharabah tersebut.[13]






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sarwat. Seri Fiqih Kehidupan. Jakarta Selatan: DU Publishing

Antonio, M.S. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani.

Lewis, M.K, Lativa M.A. 2001. Perbankan Syari’ah Prinsip Praktek Prospek. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta.

Muhammad. 2008. Manajemen Pembiayaan Mudharabah Di Bank Syari’ah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syafe’i, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, Stain, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Sumitro. 2004. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.





[1] Mervin K. Lewis, Latifa M. Algaoud, Prinsip Praktek dan Prospek (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001) hal. 66.
[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah,dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001) hal. 95
[3] Ibid. hal.96
[4] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hal. 226
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Op. Cit, hal. 97
[6] Rachmat Syafe’I, Op. cit, hal.228
[7] Ibid, hal. 229-230
[8] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 101
[9] Rachmat Syafe’I, Op. Cit, hal. 226
[10] Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (Jakarta Selatan: DU Publishing) hal. 159-160
[11] Ibid, hal. 156
[12] Warkum Sumitro, Op. Cit. hal. 100
[13] Muhammad, manajemen pembiayaan mudharabah di bank syari’ah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008) hal. 5-6