BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tolong menolong atau ta’awun adalah kebutuhan
hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu
pekerjaan atau apa saja yang membutuhkan pihak lain, pasti tidak akan dapat
dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan
tentang hal itu.
Ini
menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu adalah keharusan dalam
hidup manusia.Allah Ta’ala telah berfirman,”Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maidah: 2)
…… (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 ……
dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. pada dasarnya kita sebagai
manusia sosial diharuskan untuk saling tolong menolong antar sesama dalam hal
kebaikan tak terkecuali dalam kegiatan ekonomi misalnya ijarah. Pada makalah
ini akan menerangkan beberapa keterkaitan antara ta’awun dengan ijarah serta
bentuk keadilan dan persamaanya.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat diuraikan masalah mengenai keterekaitan antara
ta’awun dengan ijarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Ta’awun dalam Ekonomi
Artinya:Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.(Qs Al maidah: 2)
Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara
umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Dimana kita
harus tolong-menolong dalam
hal kebaikan. Membantu yang sedang kesusahan, bekerja-sama,
gotong-royong demi terciptanya keuntungan dan manfaat
untuk semua. Dalam ayat ini juga terdapat larangan untuk
kerjasama (tolong-menolong) dalam hal
berbuat kejahatan. Jika
direnungkan dalam kegiatan ekonomi maka ayat ini melarang kita untuk melakukan
transaksi yang bathil, bukan hanya sendiri tetapi secara bersama-sama
pun dilarang.
Tolong-menolong dalam kegiatan
ekonomi identik dengan Akad Tabarru. Yakni segala macam perjanjian yang menyangkut (transaksi nirlaba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad
tabarru dilakukan dengan tujuan tolong-menolong (ta’awun) dalam rangka
berbuat kebaikan. Tabarru’ berasal dari
kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan. Dalam akad tabarru’ pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratakan imbalan apa pun kepada
pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru adalah dari
Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian pihak yang berbuat kebaikan
tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya
untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk
dapat melakukan akad tabarru tersebut. Namun ia tidak boleh sedkit pun
mengambil laba dari akad tabarru tersebut.[1]
Berangkat dari pengertian ayat diatas berarti
bertolong-tolonglah kamu yang
menyenangkan hati banyak orang dan diridhai Allah.
Jika seorang manusia dapat melakukan yang demikian maka sempurnalah
kebahagiannya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah karena
bahwasanya Allah itu keras dalam
menjatuhkan hukuman. Adalah sebagai
peringatan kepada manusia,
bahwa Allah jika menjatuhkan
hukumannya amat beratlah pikulan manusia, sebab itu bertaqwalah kepada-Nya.[2]
B.
Konsep Ijarah
a.
Pengertian
Ijarah adalah akad
penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan
sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa
didikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.[3]
b.
Fitur dan Mekanisme
1. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu
memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan
mengakhiri akad Ijarah dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu
membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2.
Kewajiban perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
a.
menyediakan objek ijarah
yang disewakan;
b.
menanggung biaya
pemeliharaan objek ijarah;
c.
menjamin objek ijarah yang
disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
3.
Hak penyewa (musta’jir),
antara lain meliputi:
a.
menerima objek ijarah
dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
b.
menggunakan objek ijarah
yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
4.
Kewajiban penyewa antara
lain meliputi:
a.
membayar sewa dan
biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
b.
mengembalikan objek iajrah
apabila tidak mampu membayar sewa;
c.
menjaga dan menggunakan
objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
d.
tidak menyewakan kembali
dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
c.
Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama Fiqh berbeda
pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak
atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu
pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan
kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia,
akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau
barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal
dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan
kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.
d.
Keterkaitan
antara ta’awun dan konsep ijarah
Dengan melihat kedua penjelasan
diatas maka ada keterkaitan antara ta’awun dengan ijarah. Dimana dalam ta’awun
diterangkan bahwa Tolong-menolong dalam kegiatan
ekonomi identik dengan Akad Tabarru. Yakni segala macam perjanjian yang menyangkut (transaksi nirlaba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad
tabarru dilakukan dengan tujuan tolong-menolong (ta’awun) dalam rangka
berbuat kebaikan. Sedangkan ijarah
merupakan akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara
perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir)
tanpa didikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri sebagai contohnya
yaitu rentalan mobil yang termasuk ijarah bil manfaat yaitu sewa menyewa yang
bersifat manfaat. misalnya budi menyewa atau rental mobil di peusahaan milik
pak edi, disini pasti ada kesepakatan akad tentang sewa mobil tersebut antar
kedua belah pihak. Budi mempunyai hak dan kewajiban terhadap mobil
yang disewanya begitu juga pak edi.
Dengan melihat
contoh tersebut penulis menyimpulkan bahwa adanya sifat tolong menolong antara
kedua belah pihak yang saling menguntungkan, budi mendapatkan manfaat dari sewa
tersebut dan pak edi mendapatkan uang atas jasa rental mobilnya.disi jelas
bahwa ijarah memang diperbolehkan oleh islam dengan melihat maslahatnya.
C.
Bentuk Keadilan Dalam Ijarah
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara
hak dan kewajiban. Keadilan juga dapat berarti suatu tindakan yang tidak berat
sebelah atau tidak memihak ke salah satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang
sesuai dengan hak yang harus diperolehnya. Bertindak secara adil berarti
mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan yang salah,
bertindak jujur dan tepat menurut peraturan dan hukum yang telah ditetapkan
serta tidak bertindak sewenang-wenang.
Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau
keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan segi
etis, manusia diharapkan untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan atau
tidak melaksanakan kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan manusia yang semata-mata
hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya akan mengarah pada
pemerasan atau perbudakan terhadap orang lain.[4]
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa adanya prinsip keadilan didalam ijarah bukan
berarti dalam bentuk sama rata tetapi keadilan dalam ijarah diartikan sebagai
adanya persamaan pembagian porsi atas hak guna atau manfaat dalam akad ijarah yang
dilakukan oleh kedua belah pihak.
[1] Adiwarman Karim, Bank Islam:Analisis Fiqih Dan Keuangan,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), h.66
[2] Syekh H Abdul Halim Hasan Binjai,
Tafsir Al Ahkam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.333
[3]
Andri Soemitra,MA. “Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah”. Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1 h.349
[4] http://gadingmahendradata.wordpress.com/2009/11/27/keadilan-dalam-islam-dan-bisnis/
0 comments:
Post a Comment