Sunday 30 October 2011

DEMOKRASI

Nama : Jumadi

NPM : 1121040179

Fak/Jurusan : Ekonomi Islam

DEMOKRASI

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara eksekutif, yudikatif dan legislatif untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip cheks and balances

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil rakyat yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Selain pemilihan umum legislatif, banyak memutuskan hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil.[1]

A. Sejarah Demokrasi

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani demokratia "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata Demos "rakyat" dan Kratos "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.[2]

B. Norma-Norma Demokrasi

Menyimak perjalanan proses demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, sepertinya mengalami pasang-surut yang berarti. Batu uji demokrasi yang nampak adalah ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sebagian wilayah Indonesia, dibarengi dengan pencideraan norma-norma demokrasi yang hakiki. Pesta demokrasi (Pilkada) yang seharusnya saling menghargai perbedaan, ternyata yang muncul adalah saling menghujat, kampanye hitam, bahkan lebih parahnya konflik horisontal antar pendukung calon semakin meramaikan media cetak dan elektronik. Sepertinya atmosfir toleransi semakin menjauh dari bangsa ini yang baru bangkit dari keterpurukan, dan mungkin sangat sulit untuk mencapai bangsa yang beradab (civilization), kalau realitas yang demikian itu terus-menerus mewarnai proses demokrasi.[3]

Menurut Nurcholish Maadjid, pandangan demokratis dapat bersandar pada bahan-bahan yang telah berkembang, baik secara teoritis maupun pengalaman praktis di Negara-negara demokrasinya sudah mapan. Setidaknya ada enam norma atau unsure pokok yang di butuhkan oleh tatanan demokratis.

1. Kesadaran akan pluralisme. Kesadaran akan kemajemukan tidak sekedar pengakuan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran akan kemajemukan menghendaki tanggapan dan sikap positif terhadap kemajemukan itu secara aktif.

2. Musyawarah. Makna dan semangat musyawarah ialah mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan warga Negara untuk secara tulus menerima kemungkinan untuk melakukan negosiasi dan kompromi-kompromi social dan politik secara damai dan bebas dalam setiap keputusanbersama.

3. Cara haruslah sejalan dengan tujuan. Norma ini menekankan bahwa hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan.dengan kata lain bahwa demokrasi bukanlah sebatas pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi (pemilu, suksesi kepemimpinan, dan aturan mainnya) tetapi harus di lakukan secara santun dan beradab, yakni melalui proses demokrasi yang dilakukan tanpa tekanan dan paksaan.

4. Norma kejujuran dalam pemufakatan. Suasana masyarakat demokrasi dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang member keuntungan semua pihak.

5. Kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarinism) merupakan demokrasi yang harus diintegrasikandengan sikap percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude).

6. Percobaan salah dalam demokrasi ( Trial and eror ).demokrasi bukanlah sesuatu yang telah selesai dan siap saji, tetapi ia merupakan sebuah proses tanpa henti.[4]

C. Demokrasi Klasik

Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.

Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.

D. Demokrasi Modern

Pada mulanya pertumbuhan demokrasi tela mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan yunani kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya. System demokrasi yang terdapat di Negara kota Yunani kuno (abad ke-6-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct Democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.pada zaman demokrasi yunani sifat demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil dari penduduk tersebut. Dalam Negara demokrasi modern deokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan (Representative democracy )[5]. Yaitu:

1. Demokrasi Representatif dengan Sistem Presidensial

Dalam sistem ini terdapat pemisahan tegas antara badan dan fungsi legislatif dan eksekutif. Badan eksekutif terdiri dari seorang presiden, wakil presiden dan menteri yang membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hubungannya dengan badan perwakilan rakyat (legislatif), para menteri tidak memiliki hubungan pertanggungjawaban dengan badan legislatif. Pertanggungjawaban para menteri diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Presiden dan para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan legislatif.

2. Demokrasi Representatif dengan Sistem Parlementer

Sistem ini menggambarkan hubungan yang erat antara badan eksektif dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari kepala negara dan kabinet (dewan menteri), sedangkan badan legisletafnya dinamakan parlemen. Yang bertanggung jawab atas kekuasaan pelaksanaan pemerintahan adalah kabinet sehingga kebijaksanaan pemerintahan ditentukan juga olehnya. Kepala negara hanyalah simbol kekuasaan tetapi mempunyai hak untuk membubarkan parlemen.

3. Demokrasi Representatif dengan Sistem Referendum (badan pekerja)

Dalam sistem ini tidak terdapat pembagian dan pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sistemnya sendiri di mana BADAN eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif. Badan eksekutifnya dinamakan bundesrat yang merupakan bagian dari bundesversammlung (legislatif) yang terdiri dari nationalrat-badan perwakilan nasional- dan standerat yang merupakan perwakilan dari negara-negara bagian yang disebut kanton.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh American Institute of Public Opinion terhadap 10 negara dengan pemerintahan terbaik, diantaranya yaitu Switzerland, Inggris, Swedia dan Jepang di posisi terakhir, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri demokrasi (modern) yaitu adanya hak pilih universal, pemerintahan perwakilan, partai-partai politik bersaing, kelompok-kelompok yang berkepentingan mempunyai otonomi dan sistem-sistem komunikasi umum, frekuensi melek huruf tinggi, pembangunan ekonomi maju, besarnya golongan menengah.

E. Demokrasi Pancasila

Demokrasi pancasila sebagai istilah yang dipergunakan MPRS/XXXVII/1986 sebagai pedoman pelaksanaan demokrasi pancasila. Dan bahwasanya Demokrasi Pancasila hanya sebagai kependekan bagi sila ke-4 yaitu “kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

MPRS/XXVII/1968 bukanlah mengurus keseluruhan Pancasila dan bukan pula mengurus kedaulatan rakyat atau wujud keseluruhan kerakyatan; tetapi hanya mengurus soal musyawarah untuk mufakat.[6]

F. Gelombang ketiga demokrasi

Jeff Hayness (2000) membagi pemberlakuan demokrasi ke dalam tiga model berdasarkan penerapannya. Ketiganya yaitu demokrasi formal, demokrasi permukaan (façade) dan demokrasi substantif. Ketiga model ini menggambarkan praktik demokrasi sesungguhnya yang berlangsung di negara manapun yang mempraktikkan demokrasi di atas bumi ini.

1. Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan untuk memilih pemerintahannya dengan interval yang teratur dan ada aturan yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur pemilu dengan memperhatikan proses hukumnya.

2. Demokrasi permukaan (façade) merupakan gejala yang umum di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi, tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diadakan sekadar para os inglesses ver, artinya “supaya dilihat oleh orang Inggris”. Hasilnya adalah demokrasi dengan intensitas rendah yang dalam banyak hal tidak jauh dari sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi struktur politik.

3. Demokrasi substantif memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, golongan minoritas keagamaan dan etnik, untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di suatu negara. Dengan kata lain, demokrasi substantif menjalankan dengan sungguh-sungguh agenda kerakyatan, bukan sekadar agenda demokrasi atau agenda politik partai semata.[7]

penilaian yang realistis mengenai demokrasi dunia ketiga pada akhir 1990-an adalah untuk mengetahui jenis system yang masih ada diatas spectrum yang ditandai dengan maksimalis’(subtantif) disatu ujung dan minimalis (facade) di ujung lain. Sejumlah system demokrasi sudah mengarah pada ujung minimalis, tetapi sangat sedikit yang mendekati posisi maksimalis.

Daftar Pustaka

Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar ilmu Politik. Edisi Revisi Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama,2008

Prof. Dr. Hazairin, S.H. Demokrasi Pancasila, Jakarta.Tintamas Indonesia,1973

Jeff Hynes.Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga.Jakarta. Yayasan Obor Indonesia,2000

http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/27/demokrasi-dan-sejarahnya/

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080212132751

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Pendidikan kewargaan

Jakarta.Kencana Prenada Media Group. Edisi ketiga 2008, hal.38

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi



[1] http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/27/demokrasi-dan-sejarahnya/

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[3] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080212132751

[4] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Pendidikan kewargaan ( Jakarta.Kencana Prenada Media Group. Edisi ketiga 2008), h. 38

[5] Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar ilmu Politik. Edisi Revis (Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama,2008), h. 108-109

[6] Prof. Dr. Hazairin, S.H. Demokrasi Pancasila (Jakarta.Tintamas Indonesia,1973), h. 4

[7] Jeff Hynes.Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga.(Jakarta. Yayasan Obor Indonesia,2000), h. 137-146

0 comments:

Post a Comment