IMPLEMENTASI
HUKUM PERJANJIAN SYARI’AH KONTEMPORER DI INDONESIA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Ekonomi Islam 1
Dosen Pembimbing :
1.
Prof. Dr. H. Suharto, S.H., M.A.
2.
Mardiyah Hayati, S.P., M.Si
Disusun oleh :
Jumadi (1121040179)
JURUSAN:
EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A.
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke
Hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
yang berjudul “IMPLEMENTASI
HUKUM PERJANJIAN SYARI’AH KONTEMPORER DI INDONESIA”
tepat
pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat
bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan
makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Dan Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN .............................................................. 3
2.1 Pengertian Hukum Perjanjian Syari’ah
................................. 3
2.2 Dasar Hukum Perjanjian Syari’ah ........................................ 4
2.3 Macam-Macam Perjanjian Syari’ah ................................... 11
2.4 Syarat dan Rukun Dalam Perjanjian
Syari’ah ...................... 12
2.5 Urgensi Kodifikasi Hukum Perjanjian
Syari’ah .................... 17
BAB III. PENUTUP ...................................................................... 19
3.1 Kesimpulan ....................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam literatur ilmu hukum, terdapat berbagai istilah
yang sering dipakai selain hukum perjanjian, yaitu hokum kontrak dan hukum
perikatan. Mayoritas ahli hukum sepakat bahwa istilah-istilah tersebut memiliki
titik tekan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Perjanjian menurut Prof. Dr. subekti, SH., adalah
suatu peristiwa dimana dua orang bertemu dan membuat suatu perjanjian untuk
melaksanakan suatu hal. Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian
dalam bentuk tertulis, orang sering menyebutnya sebagai hukum kontrak.
Sebagai ahli hukum yang membedakan ketiga istilah
tersebut berpedoman pada kitab undang-undang hukum perdata atau Burgerlijk
Wetboek (KUHPer/B.W), maka terminologi perikatan memiliki pengertian yang lebih
luas dari pada perjanjian. Hal ini ditunjukan dengan isi pasal 1234 KUH Perdata
yang berbunyi; tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau tidak untuk berbuat sesuatu.
Disamping itu, kontrak dalam perikatan konvensional
merupakan perikatan yang harus tertulis, dalam fiqh muamalah juga termasuk
dalam kategori aqd, namun pada dasarnya aqd memiliki cakupan yang cukup luas,
bias tertulis maupun tidak. Lebih dari itu kontrak sebenarnya berasal dari
bahasa inggris yaitu contract yang
berarti perjanjian. Sehingga untuk membedakan istilah-istilah tersebut, dengan
merujuk pada istilah hukum perjanjian, hukum perikatan, ataupun hukum kontrak
umum (konvensional) kurang begitu tepat untuk memahami hokum perjanjian
syariah. Untuk itu dalam makalah ini akan banyak dibahas masalah hokum
perjanjian ataupun perikatan yang berkaitan dengan masalah bisnis islami.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk lebih mengetahui tentang perjanjian dan dasar
hukum dari perjanjian syariah maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai
hal-hal yang berkaitan dalam hukum perjanjian sebagai berikut;
a.
Pengertian Hukum Perjanjian syariah
b.
Dasar Hukum Perjanjian Syari’ah
c.
Macam-Macam Perjanjian Syari’ah
d.
Syarat Dan Rukun Perjanjian Syariah
e.
Urgensi Kodifikasi Perjanjian Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Perjanjian Syariah
Istilah
perikatan merupakan terjemahan dari kata verbintenis
yang berasal dari bahasa belanda.[1] Dalam
KUH Perdata tidak dicantumkan pengertian mengenai perikatan. Namun subekti
berpendapat bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal
dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu[2].
Hukum kontrak
menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan,
isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi
hokum yang mengikat untuk melaksanakannya.[3]
Hukum perikatan
(perjanjian) syariah sebagai bagian dari hukum Islam dibidang Muamalah, juga
memiliki sifat yang terbuka dan elastis yang berarti segala sesuatu dibidang
muamalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau melanggar
larangan yang sudah ditentukan dalam alqur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.
Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti perkembangan
zaman.
2.2 Dasar Hukum Perjanjian Syari’ah
Sebagai bentuk implementatif dari aturan syara’, maka hukum
perjanjian syari’ah tidak akan lepas dari sumber hukum islam, yaitu Qur’an,
Hadits, Ijma,, dan Qiyas. Namun, apabila Hukum Perjanjian Syari’ah dipraktekkan
secara seksama dalam sebuah Negara, maka dasar hukum secara yuridis juga harus
ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipilah dua dasar hukum perjanjian
syari’ah, yaitu; Dasar Nash dan Dasar Yuridis atau Undang-Undang.
1. Dasar Nash
Alqur’an sebagai salah satu hukum
islam yang utama dalam hukum perjanjian islam. Namun sebagian besar hanya
mengatur kaidah-kaidah umum. Hal tersebut dapat dilihat dari isi ayat-ayat
alqur’an sebagai berikut.
a. Almaidah ayat 1 membahas tentang
kewajiban memenuhi berbagai macam perjanjian[4].
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS.Almaidah: 1 )
b. Al-Baqarah ayat 282 tentang perintah
menulis sebuah perjanjian dengan benar.[5]
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Selain itu masih banyak ayat-ayat lain yang berhubungan
dengan perjanjian diantaranya yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 29 tentang harus
adanya syarat sah berupa kerelaan dalam setiap perjanjian, al-Muthaffifin ayat
1-6 tenang larangan berbuat curang dalam perjanjian, dan pada surat al-baqarah
275, 276, dan 278, ali imran ayat 130 dan Annisa’ ayat 161, dan ar-Rum ayat 39
yang melarang adanya transaksi yang mengandung riba dalam setiap perjanjian.
Dalam hadist, ketentuan-ketentuan
mengenai muamalah terperinci dari pada al-qur’an, namun perincian ini tidak
terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah
umum. Hadits-hadits tersebut antara lain dapat terlihat di bawah ini :
a. HR. Abu Dawud dan Al-Hakim
Allah
SWt telah berfirman dalam hadits qudsinya; “ Aku (Allah) adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama
salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah
seorang diantaranya berkhianat, maka aku keluar dari perserikatan keduanya”.
b. HR. Muslim dan Abu Hurairah
Bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, pernah melalui suatu onggokan yang hendak dijual,
lantas beliau memasukan tangan beliau kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalam
jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu,
“apakah ini ?” jawab yang punya makanan, “basah karena hujan, ya Rasullah”
beliau bersabda.” Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat
orang? Barang siapa menipu maka dia bukan umatku.”
2. Dasar Yuridis
Secara yuridis, penerapan Hukum perjanjian syariah
diindonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Seperti ketentuan pasal 29 ayat 2
UUD 1945 konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan kemerdekaan bagi setiap
penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Menurut
pandangan islam ibadah tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan allah
tetapi juga meliputi hubungan sesama manusia (muamalah). Maka dari dasar itulah UU tersebut dapat digunakan
sebagai landasan hokum syari’ah dalam konteks perbankan dan dapat digunakan
sebagai landasan dalam perikatan.
Pasal 1338 KUHP yang menyatakan bahwa setiap perjanjian
dibuat secara sah dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak atau alas an-alasan yang ditentukan oleh undang-undang serta harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Atas dasar itu maka tidak ada halangan
sedikitpun bagi umat islam untuk menghendaki berlakunya syariah islam untuk
mengatur hubungan sesame mereka.[6]
Baru-baru ini, UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU
No 7/1989 tentang peradilan agama, telah dissahkan oleh presiden RI. Kelahiran
undang-undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang
mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 Point (i)
disebutkan dengan jelas bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain;
a. Bank Syari’ah
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah
c. Asuransi syari’ah
d. Reasuransi syari’ah
e. Reksadana syari’ah
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah
g. Sekuritas syari’ah
h. Pembiayaan syari’ah
i. Pegadaian syari’ah
j. Dana pension lembaga keuangan
syari’ah, dan;
k. Bisnis syari’ah.[7]
Nilai-nilai
yang terkandung dalam hukum islam telah mewarnai hukum yang berlaku di
Indonesia dewasa ini. Salah satu yang menonjol adlah dibidang hukum ekonomi,
antara lain dengan diundangkannya UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat, UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, dan peraturan perundang-undangan dibidang
lembaga keuangan (bank dan non bank), serta lembaga pembiayaan.
Peraturan-peraturan dibidang lembaga keuangan syari’ah dan lembaga pembiayaan berdasarkan
prinsip perjanjian syari’ah dapat diinventarisir sebagai berikut, yaitu :
1. Peraturan perundang-undangan di
bidang lembaga bank
a. Undang-undang : UU No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan atas UU. No 7 Tahun 1992 tentang perbankan dan UU No. 21
tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.
b. Peraturan Bank Indonesia (PBI). Ada
Sembilan bagian PBI yang secara khusus mengatur perbankan syari’ah dan
sekaligus sebagai peraturan tekhnis dari UU No.21 Tahun 2008, salah satunya :
PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang perubahan atas PBI No.9/19/PBI/2007 tentang
pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran
dana serta pelayanan jasa bank syari’ah.
2. Peraturan Perundang-undangan
dibidang lembaga keuangan non bank.
a. Asuransi
Peraturan
mengenai Asuransi Syari’ah secara tegas baru diujumpai dalam PP No.39 tahun
2008 tentang perubahan kedua atas PP No.73 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan
usaha perasuransian.
b. Reksadana Syari’ah dan pasar modal
syari’ah.
Reksa
dana Syari’ah dan Pasar modal berdasarkan prinsip syari’ah selain berdasarkan
pada UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal, khusus untuk operasionalnya mendasarkan
pada keputusan ketua Bapepam dan LK No. 130/BL/2006 Tanggal 23 Nopember 2006
yang dalam lampirannya memuat peraturan No. IX.A.13 tentang penerbitan efek
syari’ah dan keputusan ketua Bapepam LK No.Kep-131/BL/2006 tanggal 23 Nopember
2006 yang dalam lampirannya memuat peraturan No. IX.A.14 tentang akad-akad yang
digunakan dalam kegiatan perusahaan.
3. Peraturan Perundang-undangan
dibidang perusahaan Pembiayaan.
Mengenai perusahaan pembiayaan, ketua Bapepam/LK sudah
mengeluarkan paket regulasi berupa peaturan ketua Bapepam dan LK No.
Per-03/BL/2007 Tentang kegiatan perusahaan dan pembiayaan berdasarkan efek
syari’ah dan peraturan ketua Bapepam dan LK No. 04/BL/2007 Tentang akad-akad
yang digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip
syari’ah.
2.3 Macam-Macam
Perjanjian Syari’ah
Dalam perjanjian syari’ah, setiap sumber perjanjian adalah
yang dikehendaki fiqh mu’amalah yang merupakan implementasi dari syari’ah yang
mengatur hubungan antar manusia. Oleh karena itu, banyak sekali macam-macam
perjanjian syari’ah, namun hal itu masih terikat dengan teori mekanisme akad.
Berikut adalah macam-macam perjanjian syari’ah (akad) yang juga diatur dalam
KHES; Bai (jual-beli), Syirkah,
Mudharabah, Muzara’ah, Murabahah, Musaqah, Ijarah, Istisna, Kafalah,
Hawalah,Rahn, Wadi’ah, Ju’alah.
Akad-akad tersebut (kecuali Istisna), padadasarnya adalah
teori akad yang terdapat dalam literature fiqih klasik. Islam merupakan agama
universal, oleh karena itu seiring dengan perkembangan zaman yang didalamnya terdapat
berbagai macam transaksi, maka lahir beberapa mekanisme akad modern atas dasar
kesepakatan cendekiawan atau ahli fiqih modern yang tetap berprinsip pada
alqur’an dan hadits, beberapa diantaranya adalah pengembangan dari akad-akad
sebelumnya seperti istisna’, sharf, wadi’ah bil ujrah, ijarah muntahiyah
bittamlik, ta’min (perasuransian), suq maliah (pasar modal) dan bai’ al-wafa.
Jika dilihat dari perspektif hokum bisnis, macam-macam
praktik bisnis yang lazim dijalankan menurut prinsip ekonomi syari’ah antara
lain:
a. Bagi
hasil (profit sharing), dengan prinsip musyarakah, musaqah, muzara’ah,
mudharabah.
b.
Jual-beli
(sale and purchase), dengan prinsip al-Murabahah, as-Salam, as-Istisna,
al-Ijarah.
Disamping beberapa jenis seperti
tersebut diatas, perjanjian syari’ah juga mengenal bentuk lain, seperti:
c.
Simpanan/titipan
(depository/ al-wadi’ah)
d.
Sewa
(operasional lease and financial lease)
e.
Jasa
(free-based service)
f.
Atau
kegiatan lain yang lazim dilakukan sepanjang disetujui oleh DSN (Pasal 28 SK
Direksi BI No. 32/1999).[8]
2.4 Syarat
dan rukun dalam perjanjian Syari’ah
Jumhur
ulama berpendapat bahwa rukun akad/perjanjian yaitu al-aqidain (pihak yang
terlibat akad), mahallul Aqd (objek akad), dan sighat Aqd (ijab & qabul).
Sedangkan menurut fuqaha hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan
jumhur fuqaha diatas. Bagi mereka, rukun akad adalah hanya ada satu unsure
yaitu sighat Aqd (ijab dan qabul), sedangkan Al-aqidain dan mahallul aqd bukan
rukun akad melainkan hanya sebagai syarat akad.
Berdasarkan
perbedaan pandangan diatas maka Mustafa Az-zarqa dalam menyatukan pandangan
kedua perbedaan tersebut beliau menyebutkan dengan istilah muqqawimat Aqd
(unsur penegak akad), dimana salah satunya adalah rukun akad, ijab dan qabul.
Sedangkan unsure lainnya adalah para pihak, objek akad, dan tujuan akad.
Sedangkan
menurut hasbi ash-Siddiqy, keempat komponen hal tersebut merupakan komponen
yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad. Hal ini juga telah
ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), Bab III Bagian
pertama tentang rukun dan syarat pasal 22 sampai 28[9].
1.
Subjek
Perikatan atau al-Aqidain
Adalah para pihak yang melakukan
akad. Dalahm hal akad tidak hanya dapat dilakukan oleh manusia atau individu
tetapi juga dapat dilakukan oleh badan hukum. Berikut penjelasan mengenai
manusia dan badan hukum serta kaitannya dalam hukum islam.
a. Manusia
Manusia
sebagai subjek hukum perikatan karena pada dasarnya orang yang membuat
perjanjian harus cakap terhadap hukum, sebagaimana telah ditentukan dalam pasal
1320 KUH Perdata.[10]
b. Badan Hukum
Badan
hukum dikatakan sebagai subjek hukum karena terdiri dari kumpulan orang-orang
yang dapat menjalankan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban serta perhubungan
hukum terhadap orang lain atau badan lain. Dalam islam badan hukum tidak diatur
secara khusus tetapi beberapa dalil menunjukan adanya badan hukum dengan
menggunakan istilah Syirkah yang mengilhami berbagai macam akad.[11]
2.
Tujuan
Akad (maudhu al-aqd)
Tujuan akad ialah maksud utama
disyariatkan akad itu sendiri.dalam hukum islam tujuan akad ditentukan oleh
Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya dalam surat albaqarah ayat
275 bahwasanya Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan adanya riba.
Ditinjau dari segi aqidah yang
menentukan keabsahan suatu akad bukanlah pernyataan redaksi, akan tetapi niat
sebenarnya yang mencerminkan tujuan yang akan dicapai. Ketentuan ini
bardasarkan pada kaidah yang merujuk pada sabda Rasulullah SAW yang menyatakan
bahwa:
Sesungguhnya
amalan itu tergantung dari pada niatnya.
Dan setiap perbuatan seseorang akan dinilai sesuai dengan apa yang diniatkannya. (HR. Bukhari).[12]
3.
Objek
Perjanjian Syariah (mahallul ‘aqd).
Mahallul ‘aqd merupakan objek suatu
perikatan. Sesuatu yang dapat dijadikan objek dalam akad ialah dapat berupa
benda atau manfaat[13].
Sedangkan menurut Prof. Dr. Syamsul
Anwar, dalam hukum perjanjian islam objek akad dimaksudkan sebagai suatu hal
yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat hukum akad[14].
Para fuqaha telah menetapkan ketentuan objek akad yang harus dipenuhi dalam
menjalankan akad :
a. Objek akad harus sesuai dengan
ketentuan syara’.
b. Objek akad merupakan milik sendiri.
c. Sesuatu yang dijadikan objek akad
harus jelas.
d. Objek dapat diserah terimakan pada
waktu akad.
e. Objek akad harus suci dari najis.
4.
Kesepakatan
(Ijab-Qabul)
Kesepakatan dalam fiqih muamalah
dapat disebut dengan ijab qabul atau sighat akad. Sighat akad adalah suatu
ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah
suatu pernyataan kehendak yang pertama muncul dari suatu pihak untuk melahirkan
suatu tindakan hukum, dan menawarkan pernyataan kehendak atas hokum yang
dimaksud. Qabul adalah suatu pernyataan kehendak yang menyetujui ijab sehingga
tercipta suatu akad.[15]
Sehingga dalam suatu perjanjian harus memiliki tindakan hukum hal ini dilakukan
agar hak-hak dan kewajiban tentang apa yang telah diperjanjikan tidak tejadi
suatu perselisihan. Dalam pasal 1320 KUH Perdata dalam sebuah perjanjian adanya
suatu sebab yang halal. Ini dimaksudkan tiada lain adalah isi dari perjanjian
tersebut. Bahwa dengan sebab itulah timbul suatu dorongan seseorang untuk
membuat suatu perjanjian.[16]
Dalam hukum perjanjian islam,
pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam
berbagai bentuk.
a. Pernyataan kehendak secara lisan,
dimana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan. Atau dapat
juga dilakukan secara langsung pada saat berhadapan dan dapat juga dilakukan
pada saat tidak berhadapan secara langsung.
b. Pernyataan akad melalui tulisan,
cara ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu secara
langsung karena kedua pihak tersebut saling berjauhan.
c. Pernyataan kehendak dengan isyarat,
suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh orang normal saja, tetapi
orang cacat juga dapat melakukan perikatan (akad). Apabila cacatya adalah
berupa tunawicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan
perikatan memiliki pemahaman yang sama.
d. Pernyataan kehendak secara diam-diam
(ta’ati), seiring dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat, kini perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan
saja. hal ini dapat disebut dengan ta’ati
(saling memberi dan menerima) dalam hal ini para pihak saling memahami
perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi
pada proses jual beli dalam supermarket yang tidak ada proses tawar menawar
karena pihak pembeli telah mengetahui harga barang tersebut.[17]
Menurut
Mustafa az-Zarqa’ suatu akad dipandang sempurna apabila ijab dan qabul telah
memenuhi syarat. Akan tetapi ada juga akad-akad tertentu yang baru dipandang
sempurna apabila telah dilakukan serah terima objek akad, tidak hanya dengan
ijab qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-uqud al’-ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam yaitu :
hibah, pinjam meminjam, barang titipan, perserikatan dalam modal, dan jaminan.
Untuk akad-akad seperti ini, menurut ulama fiqih disyaratkan bahwa barang itu
harus diserahkan kepada pihak yang berhak dan dikuasai sepenuhnya[18].
Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqih; suatu transaksi yang sifatnya tolong menolong tidak
sempurna kecuali apabila objek transaksi telah diserahkan dan dikuasai oleh
pihak yang menerimanya. “seakan-akan ijab dan qabul dalam kelima akad diatas
belum menimbulkan akibat hokum apapun.
2.5 Urgensi
Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah
Terkait pentingnya hukum ekonomi syari’ah maka sudah menjadi
sebuah kebutuhan akan adanya kodifikasi hukum tersebut. Mengingat hukum ekonomi
syari’ah sebagai hukum muamalat mempunyai ragam pandangan yang berbeda.
Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi
undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan. Dalam sejarah
formulasi suatu hokum atau peraturan dibuat secara tertulis (jus scriptum). Dalam perkembangan
selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis (corpus juris). Sebuah kodifikasi hokum
sangat diperlukan untuk menghimpun peraturan undang-undang yang demikian
banyak. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan itu dengan
baik agar mereka bisa menyelesaikan bebagai macam persoalan hukum yang muncul
ditengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.
Hal tersebut juga perlu dilakukan karena karakteristik
bidang muamalah yang bersifat “elastis
dan terbuka”sehingga memungkinkan adanya putusan yang bervariasi sehingga
dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan adanya kodifikasi hukum
ekonomi syariah dalam sebuah KUH Perdata Islam dapat menjadi sebuah
keniscayaan.
Upaya kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah juga dilakukan oleh
mujtahid ekonomi syari’ah yaitu dengan jalan memfiqihkan hukum masa lampau
karena dinilai hukum tersebut sesuai dengan hukum syari’ah[19].
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perjanjian akad memiliki arti penting dalam kehidupan
masyarakat. Ia merupakan dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian
kita.karena melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat berjalan
sesuai dengan kesepakatan bersama. Namun dalam hal ini banyak berbagai macam
paradigm yang terjadi dalam suatu akad. Hal itu dapat terjadi karena Konsepsi
hukum dalam ajaran islam berbeda dengan konsepsi hukum pada umumnya, khususnya
hukum modern. Untuk menghadapi berbagai persoalan diatas maka para fuqaha dan ahli
hukum islam melakukan pengkajian hukum islam dizaman modern ini hendak ditujukan
pada penggalian asas hukum islam yang dikemukakan oleh para fuqaha klasik
tersebut mengingat hukum islam dibidang muamalat ini mempunyai arti penting,
hal itu terlihat dengan banyaknya institusi keuangan dan bisnis syariah yang
semakin berkembang, sehingga berdasarkan UU No.3 tahun 2006 agama memperluas
yuridiksinya dalam hal melakukan pengawasan dalam bidang muamalat, selain itu
juga dengan adanya Kompilasi hokum Ekonomi Syari’ah (KHES) umat islam secara
konstitusional sudah dijamin oleh system konstitusi Indonesia. Karena pada
dasarnya KHES merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam hukum muamalat
dalam bentuk praktek-praktek ekonomi syariah melalui LKS-LKS yang memerlukan
payung hukum dalam menjalankan aktivitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.Hasan.2003.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam.Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Anwar, Syamsul.2007.Hukum Perjanjian Syari’ah. Jakarta: PT
Raja
Grafindo Persada
Afdawaiza.2008.Terbentuknya Akad Dalam Hukum Perjanjian
Islam.Al-Mawarid,XVIII
Mughits,Abdul.2008.Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Dalam
Tinjauan Hukum Islam.Al-Mawarid,XVIII
Susanto, Burhanuddin.2008.Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press
Subekti.2004. Hukum Perjanjian.Jakarta: Intermasa
Suhartono.2008.Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syari’ah Diindonesia.Ekonomi Islam,Vol.2
Syam,Taufik R.2006.Sebuah Tinjauan Tentang Materi KHES Dan
Positivasi Hukum Islam di Indonesia.La-Riba,Vol.2
Yulianti,Rahmani T.2008.Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum
Kontrak
Syari’ah.La-Riba,Vol.2.No.1
[1] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah : studi tentang
teoti akad dalam fiqih muamalat, Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada,2007,hal.47
[2] Subekti,Hukum Perjanjian,Jakarta, Intermasa,2004,hal.1
[3] Rahmani Timorita Y., Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum kontrak
Syari’ah, Dalam Jurnal Ekonomi Islam..vol.2, 2008.
[4] M.Ali Hasan, berbagai macam transaksi dalam islam,
Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada, 2003,hal. 109.
[5] Burhanuddin S., hukum Perbankan Syariah di Indonesia,
Yogyakarta, UII Press, 2008, hal.278.
[6] Ibid, hal 36
[7]
Abdul Mughits,kompilasi hukum ekonomi syari’ah dalam
tinjauan hukum islam,Dalam Jurnal Al-Mawarid, edisi XVIII, 2008.
[8] Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Diindonesia,
Dalam jurnal Ekonomi Islam.vol.2,2008.
[9] Afdawaiza, Terbentuknya Akad Dalam Hukum Perjanjian Islam,Al-Mawarid, Edisi
XVIII, 2008.
[10] Subekti, Op, cit, hal. 17.
[11] Burhanuddin.S., Op, cit, hal.227.
[12] Ibid, hal.237
[13] Ibid, hal. 232
[14] Syamsul Anwar, Op, cit. hal.190
[15] Ibid, hal.127-132.
[16] Subekti, Op,cit, hal.19.
[17] Afdawaiza, Op, cit.
[18] M. Ali hasan, Op, cit, hal.105.
[19] Taufik R.Syam,KHES: Sebuah Tinjauan Singkat Tentang Materi
KHES dan Positivasi Hukum Islam diIndonesia,La-Riba.Vol.2,2006.hal. 8.
0 comments:
Post a Comment