Sunday, 17 June 2012

IMPLEMENTASI HUKUM PERJANJIAN SYARI'AH


IMPLEMENTASI HUKUM PERJANJIAN SYARI’AH KONTEMPORER DI INDONESIA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ekonomi Islam 1
Dosen Pembimbing :
                                 1.   Prof. Dr. H. Suharto, S.H., M.A.
                                 2.   Mardiyah Hayati, S.P., M.Si





Disusun oleh :
                         Jumadi                 (1121040179)


JURUSAN: EKONOMI ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A. 2012/2013



KATA PENGANTAR


Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT,  karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul IMPLEMENTASI HUKUM PERJANJIAN SYARI’AH KONTEMPORER DI INDONESIA”
tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.


Penulis


 DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .....................................................................  i
DAFTAR ISI ..................................................................................  ii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................  1
1.1 Latar Belakang ...................................................................  1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................  2
BAB II. PEMBAHASAN ..............................................................  3
2.1 Pengertian Hukum Perjanjian Syari’ah .................................  3
2.2 Dasar Hukum Perjanjian Syari’ah ........................................  4
2.3 Macam-Macam Perjanjian Syari’ah ...................................  11
2.4 Syarat dan Rukun Dalam Perjanjian Syari’ah ......................  12
2.5 Urgensi Kodifikasi Hukum Perjanjian Syari’ah ....................  17
BAB III. PENUTUP ...................................................................... 19
3.1 Kesimpulan  .......................................................................  19
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Dalam literatur ilmu hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai selain hukum perjanjian, yaitu hokum kontrak dan hukum perikatan. Mayoritas ahli hukum sepakat bahwa istilah-istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Perjanjian menurut Prof. Dr. subekti, SH., adalah suatu peristiwa dimana dua orang bertemu dan membuat suatu perjanjian untuk melaksanakan suatu hal. Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis, orang sering menyebutnya sebagai hukum kontrak.
Sebagai ahli hukum yang membedakan ketiga istilah tersebut berpedoman pada kitab undang-undang hukum perdata atau Burgerlijk Wetboek (KUHPer/B.W), maka terminologi perikatan memiliki pengertian yang lebih luas dari pada perjanjian. Hal ini ditunjukan dengan isi pasal 1234 KUH Perdata yang berbunyi; tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak untuk berbuat sesuatu.
Disamping itu, kontrak dalam perikatan konvensional merupakan perikatan yang harus tertulis, dalam fiqh muamalah juga termasuk dalam kategori aqd, namun pada dasarnya aqd memiliki cakupan yang cukup luas, bias tertulis maupun tidak. Lebih dari itu kontrak sebenarnya berasal dari bahasa inggris yaitu contract yang berarti perjanjian. Sehingga untuk membedakan istilah-istilah tersebut, dengan merujuk pada istilah hukum perjanjian, hukum perikatan, ataupun hukum kontrak umum (konvensional) kurang begitu tepat untuk memahami hokum perjanjian syariah. Untuk itu dalam makalah ini akan banyak dibahas masalah hokum perjanjian ataupun perikatan yang berkaitan dengan masalah bisnis islami.

1.2  Rumusan Masalah
Untuk lebih mengetahui tentang perjanjian dan dasar hukum dari perjanjian syariah maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dalam hukum perjanjian sebagai berikut;
a.       Pengertian Hukum Perjanjian syariah 
b.      Dasar Hukum Perjanjian Syari’ah 
c.       Macam-Macam Perjanjian Syari’ah 
d.      Syarat Dan Rukun Perjanjian Syariah 
e.       Urgensi Kodifikasi Perjanjian Syariah



BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pengertian Hukum Perjanjian Syariah
Istilah perikatan merupakan terjemahan dari kata verbintenis yang berasal dari bahasa belanda.[1] Dalam KUH Perdata tidak dicantumkan pengertian mengenai perikatan. Namun subekti berpendapat bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu[2].
Hukum kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hokum yang mengikat untuk melaksanakannya.[3]
Hukum perikatan (perjanjian) syariah sebagai bagian dari hukum Islam dibidang Muamalah, juga memiliki sifat yang terbuka dan elastis yang berarti segala sesuatu dibidang muamalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam alqur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti perkembangan zaman.
 
2.2  Dasar Hukum Perjanjian Syari’ah
Sebagai bentuk implementatif dari aturan syara’, maka hukum perjanjian syari’ah tidak akan lepas dari sumber hukum islam, yaitu Qur’an, Hadits, Ijma,, dan Qiyas. Namun, apabila Hukum Perjanjian Syari’ah dipraktekkan secara seksama dalam sebuah Negara, maka dasar hukum secara yuridis juga harus ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipilah dua dasar hukum perjanjian syari’ah, yaitu; Dasar Nash dan Dasar Yuridis atau Undang-Undang.
1.   Dasar Nash
Alqur’an sebagai salah satu hukum islam yang utama dalam hukum perjanjian islam. Namun sebagian besar hanya mengatur kaidah-kaidah umum. Hal tersebut dapat dilihat dari isi ayat-ayat alqur’an sebagai berikut.
a.    Almaidah ayat 1 membahas tentang kewajiban memenuhi berbagai macam perjanjian[4].
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS.Almaidah: 1 )

b.   Al-Baqarah ayat 282 tentang perintah menulis sebuah perjanjian dengan benar.[5]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Selain itu masih banyak ayat-ayat lain yang berhubungan dengan perjanjian diantaranya yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 29 tentang harus adanya syarat sah berupa kerelaan dalam setiap perjanjian, al-Muthaffifin ayat 1-6 tenang larangan berbuat curang dalam perjanjian, dan pada surat al-baqarah 275, 276, dan 278, ali imran ayat 130 dan Annisa’ ayat 161, dan ar-Rum ayat 39 yang melarang adanya transaksi yang mengandung riba dalam setiap perjanjian.

Dalam hadist, ketentuan-ketentuan mengenai muamalah terperinci dari pada al-qur’an, namun perincian ini tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadits-hadits tersebut antara lain dapat terlihat di bawah ini :
a.    HR. Abu Dawud dan Al-Hakim
Allah SWt telah berfirman dalam hadits qudsinya; “ Aku (Allah) adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang diantaranya berkhianat, maka aku keluar dari perserikatan keduanya”.

b.   HR. Muslim dan Abu Hurairah
Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, pernah melalui suatu onggokan yang hendak dijual, lantas beliau memasukan tangan beliau kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalam jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu, “apakah ini ?” jawab yang punya makanan, “basah karena hujan, ya Rasullah” beliau bersabda.” Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa menipu maka dia bukan umatku.”

2.   Dasar Yuridis
Secara yuridis, penerapan Hukum perjanjian syariah diindonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Seperti ketentuan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Menurut pandangan islam ibadah tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan allah tetapi juga meliputi hubungan sesama manusia (muamalah). Maka dari dasar itulah UU tersebut dapat digunakan sebagai landasan hokum syari’ah dalam konteks perbankan dan dapat digunakan sebagai landasan dalam perikatan.
Pasal 1338 KUHP yang menyatakan bahwa setiap perjanjian dibuat secara sah dapat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau alas an-alasan yang ditentukan oleh undang-undang serta harus dilaksanakan dengan itikad baik. Atas dasar itu maka tidak ada halangan sedikitpun bagi umat islam untuk menghendaki berlakunya syariah islam untuk mengatur hubungan sesame mereka.[6]
Baru-baru ini, UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang peradilan agama, telah dissahkan oleh presiden RI. Kelahiran undang-undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 Point (i) disebutkan dengan jelas bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain;
a.    Bank Syari’ah
b.   Lembaga keuangan mikro syari’ah
c.    Asuransi syari’ah
d.   Reasuransi syari’ah
e.    Reksadana syari’ah
f.    Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
g.   Sekuritas syari’ah
h.   Pembiayaan syari’ah
i.     Pegadaian syari’ah
j.     Dana pension lembaga keuangan syari’ah, dan;
k.   Bisnis syari’ah.[7] 

Nilai-nilai yang terkandung dalam hukum islam telah mewarnai hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Salah satu yang menonjol adlah dibidang hukum ekonomi, antara lain dengan diundangkannya UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, dan peraturan perundang-undangan dibidang lembaga keuangan (bank dan non bank), serta lembaga pembiayaan. Peraturan-peraturan dibidang lembaga keuangan syari’ah dan lembaga pembiayaan berdasarkan prinsip perjanjian syari’ah dapat diinventarisir sebagai berikut, yaitu :
1.   Peraturan perundang-undangan di bidang lembaga bank
a.    Undang-undang : UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU. No 7 Tahun 1992 tentang perbankan dan UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.
b.   Peraturan Bank Indonesia (PBI). Ada Sembilan bagian PBI yang secara khusus mengatur perbankan syari’ah dan sekaligus sebagai peraturan tekhnis dari UU No.21 Tahun 2008, salah satunya : PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang perubahan atas PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syari’ah.

2.   Peraturan Perundang-undangan dibidang lembaga keuangan non bank.
a.       Asuransi
Peraturan mengenai Asuransi Syari’ah secara tegas baru diujumpai dalam PP No.39 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas PP No.73 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha perasuransian.
b.      Reksadana Syari’ah dan pasar modal syari’ah.
Reksa dana Syari’ah dan Pasar modal berdasarkan prinsip syari’ah selain berdasarkan pada UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal, khusus untuk operasionalnya mendasarkan pada keputusan ketua Bapepam dan LK No. 130/BL/2006 Tanggal 23 Nopember 2006 yang dalam lampirannya memuat peraturan No. IX.A.13 tentang penerbitan efek syari’ah dan keputusan ketua Bapepam LK No.Kep-131/BL/2006 tanggal 23 Nopember 2006 yang dalam lampirannya memuat peraturan No. IX.A.14 tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan perusahaan.

3.   Peraturan Perundang-undangan dibidang perusahaan Pembiayaan.
Mengenai perusahaan pembiayaan, ketua Bapepam/LK sudah mengeluarkan paket regulasi berupa peaturan ketua Bapepam dan LK No. Per-03/BL/2007 Tentang kegiatan perusahaan dan pembiayaan berdasarkan efek syari’ah dan peraturan ketua Bapepam dan LK No. 04/BL/2007 Tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah.

2.3  Macam-Macam Perjanjian Syari’ah
Dalam perjanjian syari’ah, setiap sumber perjanjian adalah yang dikehendaki fiqh mu’amalah yang merupakan implementasi dari syari’ah yang mengatur hubungan antar manusia. Oleh karena itu, banyak sekali macam-macam perjanjian syari’ah, namun hal itu masih terikat dengan teori mekanisme akad. Berikut adalah macam-macam perjanjian syari’ah (akad) yang juga diatur dalam KHES; Bai (jual-beli), Syirkah, Mudharabah, Muzara’ah, Murabahah, Musaqah, Ijarah, Istisna, Kafalah, Hawalah,Rahn, Wadi’ah, Ju’alah.
Akad-akad tersebut (kecuali Istisna), padadasarnya adalah teori akad yang terdapat dalam literature fiqih klasik. Islam merupakan agama universal, oleh karena itu seiring dengan perkembangan zaman yang didalamnya terdapat berbagai macam transaksi, maka lahir beberapa mekanisme akad modern atas dasar kesepakatan cendekiawan atau ahli fiqih modern yang tetap berprinsip pada alqur’an dan hadits, beberapa diantaranya adalah pengembangan dari akad-akad sebelumnya seperti istisna’, sharf, wadi’ah bil ujrah, ijarah muntahiyah bittamlik, ta’min (perasuransian), suq maliah (pasar modal) dan bai’ al-wafa.
Jika dilihat dari perspektif hokum bisnis, macam-macam praktik bisnis yang lazim dijalankan menurut prinsip ekonomi syari’ah antara lain: 
a.      Bagi hasil (profit sharing), dengan prinsip musyarakah, musaqah, muzara’ah, mudharabah. 
b.      Jual-beli (sale and purchase), dengan prinsip al-Murabahah, as-Salam, as-Istisna, al-Ijarah.
Disamping beberapa jenis seperti tersebut diatas, perjanjian syari’ah juga mengenal bentuk lain, seperti:
c.       Simpanan/titipan (depository/ al-wadi’ah)
d.      Sewa (operasional lease and financial lease)
e.       Jasa (free-based service)
f.       Atau kegiatan lain yang lazim dilakukan sepanjang disetujui oleh DSN (Pasal 28 SK Direksi BI No. 32/1999).[8]

2.4  Syarat dan rukun dalam perjanjian Syari’ah
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad/perjanjian yaitu al-aqidain (pihak yang terlibat akad), mahallul Aqd (objek akad), dan sighat Aqd (ijab & qabul). Sedangkan menurut fuqaha hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan jumhur fuqaha diatas. Bagi mereka, rukun akad adalah hanya ada satu unsure yaitu sighat Aqd (ijab dan qabul), sedangkan Al-aqidain dan mahallul aqd bukan rukun akad melainkan hanya sebagai syarat akad.
Berdasarkan perbedaan pandangan diatas maka Mustafa Az-zarqa dalam menyatukan pandangan kedua perbedaan tersebut beliau menyebutkan dengan istilah muqqawimat Aqd (unsur penegak akad), dimana salah satunya adalah rukun akad, ijab dan qabul. Sedangkan unsure lainnya adalah para pihak, objek akad, dan tujuan akad.
Sedangkan menurut hasbi ash-Siddiqy, keempat komponen hal tersebut merupakan komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad. Hal ini juga telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), Bab III Bagian pertama tentang rukun dan syarat pasal 22 sampai 28[9].
1.      Subjek Perikatan atau al-Aqidain
Adalah para pihak yang melakukan akad. Dalahm hal akad tidak hanya dapat dilakukan oleh manusia atau individu tetapi juga dapat dilakukan oleh badan hukum. Berikut penjelasan mengenai manusia dan badan hukum serta kaitannya dalam hukum islam.
a.       Manusia
Manusia sebagai subjek hukum perikatan karena pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap terhadap hukum, sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata.[10]
b.      Badan Hukum
Badan hukum dikatakan sebagai subjek hukum karena terdiri dari kumpulan orang-orang yang dapat menjalankan hukum dan mempunyai hak dan kewajiban serta perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Dalam islam badan hukum tidak diatur secara khusus tetapi beberapa dalil menunjukan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah Syirkah yang mengilhami berbagai macam akad.[11]  

2.      Tujuan Akad (maudhu al-aqd)
Tujuan akad ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri.dalam hukum islam tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya dalam surat albaqarah ayat 275 bahwasanya Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan adanya riba.
Ditinjau dari segi aqidah yang menentukan keabsahan suatu akad bukanlah pernyataan redaksi, akan tetapi niat sebenarnya yang mencerminkan tujuan yang akan dicapai. Ketentuan ini bardasarkan pada kaidah yang merujuk pada sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa:
Sesungguhnya amalan itu tergantung dari  pada niatnya. Dan setiap perbuatan seseorang akan dinilai sesuai dengan apa yang diniatkannya. (HR. Bukhari).[12]

3.      Objek Perjanjian Syariah (mahallul ‘aqd).
Mahallul ‘aqd merupakan objek suatu perikatan. Sesuatu yang dapat dijadikan objek dalam akad ialah dapat berupa benda atau manfaat[13].
Sedangkan menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, dalam hukum perjanjian islam objek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat hukum akad[14]. Para fuqaha telah menetapkan ketentuan objek akad yang harus dipenuhi dalam menjalankan akad :
a.       Objek akad harus sesuai dengan ketentuan syara’.
b.      Objek akad merupakan milik sendiri.
c.       Sesuatu yang dijadikan objek akad harus jelas.
d.      Objek dapat diserah terimakan pada waktu akad.
e.       Objek akad harus suci dari najis.



4.      Kesepakatan (Ijab-Qabul)
Kesepakatan dalam fiqih muamalah dapat disebut dengan ijab qabul atau sighat akad. Sighat akad adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan kehendak yang pertama muncul dari suatu pihak untuk melahirkan suatu tindakan hukum, dan menawarkan pernyataan kehendak atas hokum yang dimaksud. Qabul adalah suatu pernyataan kehendak yang menyetujui ijab sehingga tercipta suatu akad.[15] Sehingga dalam suatu perjanjian harus memiliki tindakan hukum hal ini dilakukan agar hak-hak dan kewajiban tentang apa yang telah diperjanjikan tidak tejadi suatu perselisihan. Dalam pasal 1320 KUH Perdata dalam sebuah perjanjian adanya suatu sebab yang halal. Ini dimaksudkan tiada lain adalah isi dari perjanjian tersebut. Bahwa dengan sebab itulah timbul suatu dorongan seseorang untuk membuat suatu perjanjian.[16] 
Dalam hukum perjanjian islam, pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk.
a.       Pernyataan kehendak secara lisan, dimana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan. Atau dapat juga dilakukan secara langsung pada saat berhadapan dan dapat juga dilakukan pada saat tidak berhadapan secara langsung.
b.      Pernyataan akad melalui tulisan, cara ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu secara langsung karena kedua pihak tersebut saling berjauhan.
c.       Pernyataan kehendak dengan isyarat, suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh orang normal saja, tetapi orang cacat juga dapat melakukan perikatan (akad). Apabila cacatya adalah berupa tunawicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan  isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan memiliki pemahaman yang sama.
d.      Pernyataan kehendak secara diam-diam (ta’ati), seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja. hal ini dapat disebut dengan ta’ati (saling memberi dan menerima) dalam hal ini para pihak saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada proses jual beli dalam supermarket yang tidak ada proses tawar menawar karena pihak pembeli telah mengetahui harga barang tersebut.[17]

Menurut Mustafa az-Zarqa’ suatu akad dipandang sempurna apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat. Akan tetapi ada juga akad-akad tertentu yang baru dipandang sempurna apabila telah dilakukan serah terima objek akad, tidak hanya dengan ijab qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-uqud al’-ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam yaitu : hibah, pinjam meminjam, barang titipan, perserikatan dalam modal, dan jaminan. Untuk akad-akad seperti ini, menurut ulama fiqih disyaratkan bahwa barang itu harus diserahkan kepada pihak yang berhak dan dikuasai sepenuhnya[18].
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih; suatu transaksi yang sifatnya tolong menolong tidak sempurna kecuali apabila objek transaksi telah diserahkan dan dikuasai oleh pihak yang menerimanya. “seakan-akan ijab dan qabul dalam kelima akad diatas belum menimbulkan akibat hokum apapun.

2.5  Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah
Terkait pentingnya hukum ekonomi syari’ah maka sudah menjadi sebuah kebutuhan akan adanya kodifikasi hukum tersebut. Mengingat hukum ekonomi syari’ah sebagai hukum muamalat mempunyai ragam pandangan yang berbeda.
Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan. Dalam sejarah formulasi suatu hokum atau peraturan dibuat secara tertulis (jus scriptum). Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis (corpus juris). Sebuah kodifikasi hokum sangat diperlukan untuk menghimpun peraturan undang-undang yang demikian banyak. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan bebagai macam persoalan hukum yang muncul ditengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.
Hal tersebut juga perlu dilakukan karena karakteristik bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka”sehingga memungkinkan adanya putusan yang bervariasi sehingga dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah dalam sebuah KUH Perdata Islam dapat menjadi sebuah keniscayaan.
Upaya kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah juga dilakukan oleh mujtahid ekonomi syari’ah yaitu dengan jalan memfiqihkan hukum masa lampau karena dinilai hukum tersebut sesuai dengan hukum syari’ah[19].
  
BAB III
PENUTUP


3.1  KESIMPULAN
Perjanjian akad memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita.karena melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan bersama. Namun dalam hal ini banyak berbagai macam paradigm yang terjadi dalam suatu akad. Hal itu dapat terjadi karena Konsepsi hukum dalam ajaran islam berbeda dengan konsepsi hukum pada umumnya, khususnya hukum modern. Untuk menghadapi berbagai persoalan diatas maka para fuqaha dan ahli hukum islam melakukan pengkajian hukum islam dizaman modern ini hendak ditujukan pada penggalian asas hukum islam yang dikemukakan oleh para fuqaha klasik tersebut mengingat hukum islam dibidang muamalat ini mempunyai arti penting, hal itu terlihat dengan banyaknya institusi keuangan dan bisnis syariah yang semakin berkembang, sehingga berdasarkan UU No.3 tahun 2006 agama memperluas yuridiksinya dalam hal melakukan pengawasan dalam bidang muamalat, selain itu juga dengan adanya Kompilasi hokum Ekonomi Syari’ah (KHES) umat islam secara konstitusional sudah dijamin oleh system konstitusi Indonesia. Karena pada dasarnya KHES merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam hukum muamalat dalam bentuk praktek-praktek ekonomi syariah melalui LKS-LKS yang memerlukan payung hukum dalam menjalankan aktivitasnya.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.Hasan.2003.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam.Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Anwar, Syamsul.2007.Hukum Perjanjian Syari’ah. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 
Afdawaiza.2008.Terbentuknya Akad Dalam Hukum Perjanjian
Islam.Al-Mawarid,XVIII
Mughits,Abdul.2008.Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Dalam
Tinjauan Hukum Islam.Al-Mawarid,XVIII
Susanto, Burhanuddin.2008.Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press
Subekti.2004. Hukum Perjanjian.Jakarta: Intermasa
Suhartono.2008.Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syari’ah Diindonesia.Ekonomi Islam,Vol.2
Syam,Taufik R.2006.Sebuah Tinjauan Tentang Materi KHES Dan
Positivasi Hukum Islam di Indonesia.La-Riba,Vol.2
Yulianti,Rahmani T.2008.Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum
Kontrak Syari’ah.La-Riba,Vol.2.No.1









[1] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah : studi tentang teoti akad dalam fiqih muamalat, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,2007,hal.47
[2] Subekti,Hukum Perjanjian,Jakarta, Intermasa,2004,hal.1
[3] Rahmani Timorita Y., Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum kontrak Syari’ah, Dalam Jurnal Ekonomi Islam..vol.2, 2008.
[4] M.Ali Hasan, berbagai macam transaksi dalam islam, Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada, 2003,hal. 109.
[5] Burhanuddin S., hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2008, hal.278.
[6] Ibid, hal 36
[7] Abdul Mughits,kompilasi hukum ekonomi syari’ah dalam tinjauan hukum islam,Dalam Jurnal Al-Mawarid, edisi XVIII, 2008.
[8] Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Diindonesia, Dalam jurnal Ekonomi Islam.vol.2,2008.
[9] Afdawaiza, Terbentuknya Akad Dalam Hukum Perjanjian Islam,Al-Mawarid, Edisi XVIII, 2008.
[10] Subekti, Op, cit, hal. 17.
[11] Burhanuddin.S., Op, cit, hal.227.
[12] Ibid, hal.237
[13] Ibid, hal. 232
[14] Syamsul Anwar, Op, cit. hal.190
[15] Ibid, hal.127-132.
[16] Subekti, Op,cit, hal.19.
[17] Afdawaiza, Op, cit.
[18] M. Ali hasan, Op, cit, hal.105.
[19] Taufik R.Syam,KHES: Sebuah Tinjauan Singkat Tentang Materi KHES dan Positivasi Hukum Islam diIndonesia,La-Riba.Vol.2,2006.hal. 8.

0 comments:

Post a Comment