BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan dan Penulisan Ilmu
Hadits Modern
Pada dasarnya, hampir semua kajian keislaman sentral yang
ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja
bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti
masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadits sebagai suatu cabang ilmu.
Dalam sudut pandang ini secara praktis Ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal
semenjak Nabi masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas,
karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang
langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek
sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Musthalah
Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu Hadis.
Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa
pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa
dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang
menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata
hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar merasa bahwa
informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran
informasi ini dan memang berita itu tidak benar.[1]
Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita
dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga
dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi
apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak
berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya
larangan ini dihapus[2].
Hal ini
jugalah yang nantinya dijadikan kambing hitam oleh para
orientalis sebagai sebuah alasan untuk menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis
yang otentik dari Nabi khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.
Beberapa penyebab yang menyebabkan tidak populernya
pembukuan Hadis-hadis itu ke dalam suatu kitab, antara lain, (1) umumnya
Hadis-hadis yang berada dalam memori hafalan para ulama yang menyandang gelar
âdil (berkarakteristik moral baik) dan tsiqah (terpercaya) dianggap masih
otentik tanpa perubahan; (2) faktor-faktor pendukung untuk upaya pembukuan
belum terasa diperlukan; dan (3) adanya larangan menuliskan (baca: pembukuan)
apapun selain al-Qur’an.
B.
Teori Common Link G.H.A. Juynboll
Kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits
kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan
orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya,
muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang
terkenal dengan teori common link-nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah
orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatn
hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut.
Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata
bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali
memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.[3]
Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi
fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup
memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak
lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam
ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian
dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum-matn.
Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem penanggalan
hadits ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical
approach).
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat
hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang
berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya
kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan
kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam
berkas isnâd yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan
demikian, ketika berkas isnâd hadits itu mulai menyebar untuk yang
pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.[4]
C.
Sanggahan Terhadap Orientalis
Gencarnya kritikan terhadap ilmu hadits dari para orientalis
tentunya tidak serta merta membuat para ulama Islam berdiam diri. Tersebutlah
sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori
Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba’i dalam bukunya al-Sunnah
wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib
dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964). Keduanya secara terpisah
menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh yang selalu kami
juluki sebagai “Pendekar dari India”, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam
bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara
komprehensif membantah teori-teori orientalis tentang Hadis Nabawi, terutama
Goldziher dan Schact.
Al-Siba’i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan
karyanya, meskipun secara terpisah, keduanya telah menangkis pikiran-pikiran
orientalis Ignas Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis dan membantah
pendapat-pendapat yang dilontarkan Goldziher tersebut secara ilmiah. Sedangkan
Azami adalah orang yang membabat habis semua argument dan pikiran-pikiran
orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadis. Secara terpadu Azami
telah mematahkan argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Bukunya
yang berjudul Studies in Early Hadith Literature, seakan-akan
menelanjangi para orientalis. Mereka pun dibuat tidak berkutik karena
argument-argumen yang ditulisnya di buku tersebut memang benar-benar vaid
karena berdasrkan penelitian yang mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Karena keahliannya inilah, dunia Islam mengakui keunggulan
Azami sebagai seorang ahli hadits yang hebat dan tangguh. Wajar jika ia
menerima Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam yang diberikan kepadanya
pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri juga terpaksa
bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof.
A.J. Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris,
mengungkapkan secara terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan,
keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah karya Azami itu[5].
D.
Corak Hadits Kontemporer Lainnya
Selain kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits
kontemporer, reorientasi istilah-isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran
Hadis (tahammul al-Hadits) juga menjadi corak lain dari kajian hadits
kontemporer. Munculnya kajian ini disebabkan karena adanya pemahaman bahwa
penyebaran hadis tidak hanya dilakukan melalui lisan namun juga melalui tulisan.
Memang pada masa-masa sebelumnya banyak kalangan yang menggangap bahwa hadis
itu tersebar hanya melalui lisan, hal ini tidak lepas kerena adanya shigah-shigah
tahammul hadis yang menunjukan transmisi hadis seolah-olah hanya dilakukan
dengan lisan mislanya kata-kata Akhbarana, Haddatsana, dll., yang
menujukan bahwa tranmisi hadis itu dilakukan dengan lisan (oral transmission).
Padahal sebenarnya tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa
istilah-istilah itu juga membuktikan adanya penyebaran Hadis secara tertulis.
Beliau juga membuktiakan bahwa hadis telah ditulis oleh para sahabat sejak
zaman nabi sehingga missing link yang terjadi pada penulisan hadis dapat
disanggah.[6]
Corak lain yang tentunya tidak bisa dikesampingkan yaitu
metode Takhrij Hadits. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh
ciri kajian Hadis kontemporer. Saat ini, telah muncul metode takhrij yang mudah
dan sederhana sehingga memudahkan bagi siapa saja yang berkeinginan melakukan
takhrij terhadap sebuah hadis, dapat melakukannya dengan mudah. Meskipun tidak
mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang hadits, asalkan ditunjangan dengan
kitab-kitab penunjang yang memadai. Memang corak yang satu ini dulunya cuma
populer dikalangan ulama hadits. Namun, sekarang ini orang yang pengetahuan
hadits-nya pas-pasan pun sudah mengenal corak kajian ini. Tentunya hal ini
tidak lepas dari kegigihan DR. Mahmud Thahan yang berjasa mengembangkan kajian
takhrij hadits dengan bukunya yang terkenal Ushul Takhrij wa Dirasatul
Asanid.
KESIMPULAN
Perkembangan ilmu hadits mencapai masa
keemasan mulai abad ke-3 Hijriyah, dengan ulama yang terkenal di masanya yaitu
: Imam Al-Syafi’I, al-Ramahurmuzi, al-Khatib al-Baghdadi, dan Ibnu Shalah. Para
orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadits diantaranya : Ignaz Goldziher,
Joseph Schacht, dan G.H.A. Juynboll. Corak kajian Hadits kontemporer yaitu
kritik hadits (sanad & matan), takhrij hadits, metodologi tahammul hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad
Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, ( Jakarta: Pustaka
Firdaus). 1994.
Al-Qaththan, Syiekh
Manna’, Mabâhits Fî Ulûm Al-Hadîts. terj. Pengantar Studi Ilmu Hadits. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar). 2008.
Masrur, Ali., Teori
Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta:
LKiS),2007.
Thahan, Mahmud, Ilmu
Hadits Praktis. (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah). 2009.
Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik
Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008.
[1] Ali
Mustafa Ya’qub, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus :
Jakarta), 2008. Hal.1.
[2] Ibid
[3]
Ali
Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi. Hal.10
[4]
Ibid. hal 3.
[5]
Azami,
Muhammad Mustafa, Prof. Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta
Pustaka: Firdaus ). 1994. Hal. 7
[6]
Op, Cit.hal.29-30
0 comments:
Post a Comment