Sunday 17 June 2012

SEJARAH PENULISAN HADITS


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan dan Penulisan Ilmu Hadits Modern
Pada dasarnya, hampir semua kajian keislaman sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadits sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis Ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Musthalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu Hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.[1]
Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya larangan ini dihapus[2]. Hal ini jugalah yang nantinya dijadikan kambing hitam oleh para orientalis sebagai sebuah alasan untuk menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.
Beberapa penyebab yang menyebabkan tidak populernya pembukuan Hadis-hadis itu ke dalam suatu kitab, antara lain, (1) umumnya Hadis-hadis yang berada dalam memori hafalan para ulama yang menyandang gelar âdil (berkarakteristik moral baik) dan tsiqah (terpercaya) dianggap masih otentik tanpa perubahan; (2) faktor-faktor pendukung untuk upaya pembukuan belum terasa diperlukan; dan (3) adanya larangan menuliskan (baca: pembukuan) apapun selain al-Qur’an.

B.     Teori Common Link G.H.A. Juynboll
Kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori common link-nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatn hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.[3]
Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum-matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem penanggalan hadits ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical approach).
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnâd yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.[4]


C.    Sanggahan Terhadap Orientalis
Gencarnya kritikan terhadap ilmu hadits dari para orientalis tentunya tidak serta merta membuat para ulama Islam berdiam diri. Tersebutlah sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba’i dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964). Keduanya secara terpisah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh yang selalu kami juluki sebagai “Pendekar dari India”, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara komprehensif membantah teori-teori orientalis tentang Hadis Nabawi, terutama Goldziher dan Schact.
Al-Siba’i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan karyanya, meskipun secara terpisah, keduanya telah menangkis pikiran-pikiran orientalis Ignas Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis dan membantah pendapat-pendapat yang dilontarkan Goldziher tersebut secara ilmiah. Sedangkan Azami adalah orang yang membabat habis semua argument dan pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadis. Secara terpadu Azami telah mematahkan argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Bukunya yang berjudul Studies in Early Hadith Literature, seakan-akan menelanjangi para orientalis. Mereka pun dibuat tidak berkutik karena argument-argumen yang ditulisnya di buku tersebut memang benar-benar vaid karena berdasrkan penelitian yang mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Karena keahliannya inilah, dunia Islam mengakui keunggulan Azami sebagai seorang ahli hadits yang hebat dan tangguh. Wajar jika ia menerima Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam yang diberikan kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof. A.J. Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris, mengungkapkan secara terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan, keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah karya Azami itu[5].

D.    Corak Hadits Kontemporer Lainnya
Selain kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer, reorientasi istilah-isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran Hadis (tahammul al-Hadits) juga menjadi corak lain dari kajian hadits kontemporer. Munculnya kajian ini disebabkan karena adanya pemahaman bahwa penyebaran hadis tidak hanya dilakukan melalui lisan namun juga melalui tulisan. Memang pada masa-masa sebelumnya banyak kalangan yang menggangap bahwa hadis itu tersebar hanya melalui lisan, hal ini tidak lepas kerena adanya shigah-shigah tahammul hadis yang menunjukan transmisi hadis seolah-olah hanya dilakukan dengan lisan mislanya kata-kata Akhbarana, Haddatsana, dll., yang menujukan bahwa tranmisi hadis itu dilakukan dengan lisan (oral transmission). Padahal sebenarnya tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istilah itu juga membuktikan adanya penyebaran Hadis secara tertulis. Beliau juga membuktiakan bahwa hadis telah ditulis oleh para sahabat sejak zaman nabi sehingga missing link yang terjadi pada penulisan hadis dapat disanggah.[6]
Corak lain yang tentunya tidak bisa dikesampingkan yaitu metode Takhrij Hadits. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian Hadis kontemporer. Saat ini, telah muncul metode takhrij yang mudah dan sederhana sehingga memudahkan bagi siapa saja yang berkeinginan melakukan takhrij terhadap sebuah hadis, dapat melakukannya dengan mudah. Meskipun tidak mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang hadits, asalkan ditunjangan dengan kitab-kitab penunjang yang memadai. Memang corak yang satu ini dulunya cuma populer dikalangan ulama hadits. Namun, sekarang ini orang yang pengetahuan hadits-nya pas-pasan pun sudah mengenal corak kajian ini. Tentunya hal ini tidak lepas dari kegigihan DR. Mahmud Thahan yang berjasa mengembangkan kajian takhrij hadits dengan bukunya yang terkenal Ushul Takhrij wa Dirasatul Asanid.


KESIMPULAN

Perkembangan ilmu hadits mencapai masa keemasan mulai abad ke-3 Hijriyah, dengan ulama yang terkenal di masanya yaitu : Imam Al-Syafi’I, al-Ramahurmuzi, al-Khatib al-Baghdadi, dan Ibnu Shalah. Para orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadits diantaranya : Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A. Juynboll. Corak kajian Hadits kontemporer yaitu kritik hadits (sanad & matan), takhrij hadits, metodologi tahammul hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Azami, Muhammad Mustafa, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, ( Jakarta: Pustaka Firdaus). 1994.
Al-Qaththan, Syiekh Manna’, Mabâhits Fî Ulûm Al-Hadîts. terj. Pengantar Studi Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar). 2008.
Masrur, Ali., Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LKiS),2007.
Thahan, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis. (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah). 2009.
Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2008.





[1] Ali Mustafa Ya’qub, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus : Jakarta), 2008. Hal.1.
[2] Ibid
[3] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Hal.10
[4] Ibid. hal 3.
[5] Azami, Muhammad Mustafa, Prof. Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta Pustaka: Firdaus ). 1994. Hal. 7
[6] Op, Cit.hal.29-30

0 comments:

Post a Comment