BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah. Disamping itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga Peradilan Agama, sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut tanah milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang.
Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syari.ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syari.ah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, asuransi syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
B. Rumusan Masalah
- bagai manakah cara penyelesaian masalah pada zaman nabi atau klasik
- syarat apasaja yang terdapat dalam perjanjian damai
- bagai mana penyelesaian masalah ekonomi syariah dalam hokum positif Indonesia
- apa saja yang menjadi sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah
C. tujuan
1. Tujuan umum
Secara umum pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus pembuatan makalah ini yaitu untuk mengikuti prosedur pengajaran dalam mata kuliah pendidikan hokum ekonomi islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH BERDASARKAN TRADISI ISLAM KLASIK.
1. Al Sulh (Perdamaian)
Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai1. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa. ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”.Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut.
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada bebarapa hal sebagai berikut :
a. Hal yang menyangkut subyek
Tentang[1] subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu orang yang melaksanakan perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut. Belum tentu setiap orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan atau wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memiliki seperti pertama : wali atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya, kedua : pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, ketiga : nazir (pengawas) wakaf atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya.
b. Hal yang menyangkut obyek[2]
Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni
pertama : berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat, kedua : dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap obyek yang sama.
c. Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan)
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.
d. Pelaksana perdamaian
Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar sidang Pengadilan atau melalui siding Pengadilan. Diluar sidang Pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yang kemudian disebut dengan arbitrase, atau dalam syari.at Islam disebut dengan hakam. Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang Pengadilan dilangsungkan pada saat perkara sedang diproses dalam siding Pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh Pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telahmereka sepakati. Perjanjian perdamaian (sulh) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktek dibeberapa negara Islam, terutama dalam hal perBankkan Syariah disebut dengan “tafawud” dan “taufiq” (perundingan dan penyesuaian). Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara intern Bank, khususnya Bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah.
2. Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa3. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
3. Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a. Al Hisbah
Al Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Menurut Al Mawardi8 Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua : dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya. Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan al Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran.
b. Al Madzalim
Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orangorang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar Negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan biasa dan kekuasaan hisbah. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara ini disebut dengan nama wali al Mudzalim atau al Nadlir.
c. al Qadha (Peradilan)
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara.pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan, termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana).Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di Pengadilan disebut dengan qadhi (hakim).
B. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH BERDASARKAN TRADISI HUKUM POSITIF INDONESIA
1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)[3] Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia. Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan adanya pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang berkaitan dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses tehnis pelaksanaan hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh negara. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riel dan lebih spesifik dalam upaya negara mengaplisikan dan mensosialisasikan institusi perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula dikemukakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. Menurut Suyud Margono11 kecenderungan memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan pertama : kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, kedua : kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI. Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan secara rinci dan jelas. Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut :
a. Konsultasi
Black.s Law Dictionary memberi pengertian Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya”
b. Negosiasi
Negosiasi adalah proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran.
c. Konsiliasi
konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi.
d. Pendapat atau Penilaian Ahli[4]
Bentuk ADR lainnya yang diintrodusir dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli. Dalam rumusan pasal 52 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.
2. Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan.
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari.ah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari.ah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak yang dilaksanakannya. Dalam kaitan ini, Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat dunia juga telah memiliki lembaga arbitrase dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat dengan BANI.
Adapun tujuan didirikannya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul dan berkaitan dengan perdagangan dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Di samping itu, keberadaan BANI di samping berfungsi menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Secara garis besar prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :
· Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase dan didaftar dalam register perkara masuk.
· Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, maka klausula tersebut dianggap telah mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI segera mengeluarkan perintah untuk menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada sitermohon, disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberi jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari[5]
· Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter tunggal yang ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa sengketa antara para pihak atas nama BANI dan menyelesaikan serta memutus sengketa.
· Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan surat kuasa khusus.
· Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa.
· Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan masingmasing pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk menguatkannya.
· Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut permohonannya.
· Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan sudah cukup, maka ketua majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan menetapkan hari sidang selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.
· Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan arbitrase ditetapkan dengan peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri yang bersengketa.
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Perkembangan bisnis ummat Islam berdasar syari.ah semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak.[6] Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah pertama : memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalambidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau perwakilan di tempattempat lain yang dipandang perlu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan Pedoman Dasar yang di tetapkan oleh MUI : ialah lembaga hakam yang bebas, otonom dan independent, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perangkat organisasi.
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-Undang No, 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagimana dimaksud Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diundangkan,maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah :
a. Reglemen Acara Perdata (Rv.S,1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651, Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR S.1941 : 44) Pasal 377 dan Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg 3.1927 : 227) Pasal 705.
b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Penjelasan Pasal 3 ayat 1.
c. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI
.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berwenang :
· Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
· Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian
C. SUMBER HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
a. Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari.ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
b. BW pasal 1865 sampai pasal 1993
2. Sumber Hukum Materil[7]
a. al Qur’an
b. al- Hadits
3. Peraturan Perundang-Undangan
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
4. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
5. Aqad Perjanjian (Kontrak)
6. Fiqih dan Ushul Fiqih
7. Adab Kebiasaan
8. Yurisprudensi
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah beberapa hal yang menyangkut permasalahan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari.ah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama. Sudah tentu kendala-kendala yang dihadapi cukup banyak, namun sebahagian kecil permasalahan tersebut telah diuraikan di atas dengan maksud semua pihak, terutama aparat di lingkungan Peradilan Agama supaya mempersiap diri menghadapi kendala-kendala tersebut, guna mengantisipasi dalam menangani kasus-kasus penyelesaian sengketa ekonomi Syari.ah yang ditugaskan kepadanya. Oleh karena kurangnya literatur, dan waktu yang sangat terbatas, maka makalah yang sederhana ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran-saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan dari peserta forum ini.
DAFTAR PUSTAKAA
K.Lubis, Suhrawardi.1999.Hukum Ekonomi Islam.Sinar grafika:Jakarta
Mudzakkir AS .1989.Ekonomi Islam Masa Kini, Husaini:Bandung
Muhaemin. 2006. ”Kesiapan Pengadilan Agama Tangani Sengketa Ekonomi Syari’ah”, dalam Republika On Line, diakses tgl 4 Desember 2009.
Undang-Undang Ekonomi Syari’ah.2009.Fokus Media:Bandung
M.Yahya Harahap.1989.Kedudukan Kewenangan dalam acara peradilan Agama uu no.7 tahun 1989.Sinar Grafika :Jakarta
[1] AW Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta,1984,hal.843
[2] Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia,BAMUI & BMI, Jakarta,1994,hal.48-49
[3] Wahbah Az Zuhaili,Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz IV (2005) Dar El Fikr, Damaskus Syria, hal.752
[4] Muhammad Ibnu Farhum,Tabsirah al Hukkam fi Ushul al Qhadhiyah wa Manahij al Ahkam, Darr al Maktabah al Ilmiah,Jilid I,Bairut,Libanon,1031,tt.Hal.19
[5] Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal.134
[6] Suyud Margono,ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hal.82
[7] Mahmud Syauqi al Fanjani, Al Wajiz fi al Iqtishad al Islami, terjemahan Mudzakkir AS dengan judul Ekonomi Islam Masa Kini,1989, Husaini, Bandung
0 comments:
Post a Comment